Catatan Cinta Rita Audriyanti







Langkahku terjaga dengan baik agar jangan sampai menggangu ruang pasien Lantai 13 Kamar 15 itu. Ada dua orang lansia terbaring sebagai pasien di sana.

Langkahku terhenti dengan napas tertahan. Seorang perempuan tangguh dan pantang menyerah terlihat tidur nyenyak. Tak sampai hati membangunkannya. Aku terus mematung, menelisik setiap sisi figur perempuan yang kukagumi ini. Aku menarik kursi di sisi tempat tidurnya. Sang pasien tidak terpengaruh. 

Tatapanku tak putus. Alhamdulillah, wajah beliau tidak lagi terlalu pasi lagi. Obat bisa bekerja sama dengan baik dengan sang penulis kondang yang "mengandung" segala macam penyakit sejak mudanya. Kuisi diamku dengan melambungkan doa dan ayat-ayat suci mengiri kesembuhan beliau. 

Terdengar suara melenguh.

"Assalamualaikum, Teteh...," ucapku sambil meraih dan mencium tangannya yang tipis dimakan usia. Ku belai kepalanya yang tertutup kerudung ungu, warna khas kesukaannya. Aku tak mampu menyembunyikan air mata. Bukan maksud ingin menyeret beliau ke dalam rasa haru. Tapi begitulah yang terjadi. Beliau tersenyum menyambut. 

Akhirnya, kami asyik dan larut dalam berbagai percakapan nostalgia dengan figur-figur dan peristiwa selama aku tinggal di Jeddah dan Kuala Lumpur. Di KL inilah akhirnya aku bertemu secara fisik, face to face dengan penulis kawakan yang karyanya sudah lama kutahu. Ingatanku kembali ke masa perkenalan.

"Teteh, saya boleh ikutan kelas penulisan ini?" aku beranikan diri menyapa sekaligus minta izin ingin ikut nulis bareng sang Teroris (teror menulis) ini di sebuah restoran cepat saji Es Teler 77 Kuala Lumpur 2017.

"Eh, mangga Neng geulis," respon Teteh Pipiet Senja Dưa Bukan main senangnya hati ini sebab sejak di KL aku memang sudah mengubah haluan aktivitas ke dunia literasi. Dan kesempatan itu datang.

Kami selanjutnya terus saling kontak. Bahkan ketika suatu hari Teh Pipiet kembali hadir ke Johor Baru dan singgah di KL, beliau kuajak bermalam di rumahku, Apartemen La Grande Kiara. Kami menghabiskan malam-malam hingga lewat tengah malam dengan  bermacam topik yang mengasyikkan. Beliau termasuk pemerhati dan peduli dengan berbagai situasi sosial politik di tanah air. Ah, aku lupa bahwa sejatinya beliau perlu istirahat, kok malah diajak begadang. Besoknya, aku mengantar beliau naik kereta KLIA Express menuju Bandara KLIA, pulang ke tanah air.

Beberapa tahun kemudian aku kehilangan kontak beliau, beruntung ada Facebook sebagai mak comblang. Hubungan kami berlanjut lagi. Aku hadir pada acara literasi beliau di TIM Jakarta. Lalu hari Jumat ini, 15 November 2024, aku menemui beliau dengan sengaja ke RSUI Depok. 

Senang melihat beliau kembali ceria bercerita dengan mata berbinar-binar. Melihat suster memberi begitu banyak obat, aku tidak percaya bahwa pasien di depanku ini begitu kuatnya menghadapi penyakit yang menjadi "teman hidupnya" seumur hidup. Belum lagi kemandirian dan kekuatan mentalnya yang superduper tangguh. Kalau aku yang mengalami, mungkin aku sudah lama menyerah.

Tapi satu hal, soal karya-karyanya yang sudah begitu banyak dan menjadi bagian dari tokoh pejuang literasi tanah air ini, itulah yang membuat aku respek dan angkat topi. Bukan perkara mudah bagaimana "menikmati" sakit sambil berkarya, atau sebaliknya. 

Teh Pipiet kesayangan, dikau pujaan, teladan dan ibu yang luar biasa. Semoga berbagai gangguan yang menggerogoti tubuh Teteh hanyalah karet penghapus dosa selaku insan Tuhan. Sesungguhnya, ide dan karya Teteh lah yang menjadi esensi keberadaan Teteh. Inilah warisan terbaik yang telah disusun selama ini.

Tetap kuat dan tabah, ya Teh. Allah Mahapenolong. Barakallah 💐

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama