Desember Kelabu





Cerpen: Pipiet Senja 

Suatu siang di sebuah rumah sakit, Jakarta.

Mamay, remaja 15-an, seketika meletakkan buku yang sedang dibacanya. Didengarnya pasien di sebelahnya menangis. Ia merasa tersentuh, seketika turun dari ranjang. Kemudian dihampirinya pasien yang baru datang seminggu lalu itu.

Beberapa jenak ia pandangi tubuh pasien itu. Sangat kurus hingga tulang-tulang dadanya terlihat jelas, pipinya tirus dan bibirnya bersemu keunguan. Usianya setahun lebih muda dari dirinya. Selama ini ia lebih banyak berdiam diri. Lebih sering bersembunyi di balik perlindungan ibunya. Satu-satunya orang yang setia mendampinginya.

“Kenapa nangis? Ada yang sakit?” Mamay sambil membetulkan jilbab kaosnya yang miring kiri-kanan.

Ia mengintip wajah Maria yang ditutupi sebelah tangannya. Remaja yang berasal dari Ambon itu tak menyahut. Mamay lebih mendekatinya, pelan disentuhnya tangan Maria. Mau tak mau Maria memperlihatkan wajahnya yang penuh air mata.

“Sekarang beta seng punya kawan,” lirih remaja berkulit gelap, dan berambut kribo itu terdengar parau.

“Begitu, ya,” Mamay menyentuh pergelangan tangannya.

“Iya! Jauh-jauh beta dibawa ke Jakarta cuma untuk diopname. Tapi tadi Mama beta pamit. Katanya Mama musti pulang dulu ke Ambon. Harus cari tambahan biaya operasi beta…, hiiikkksss!”

Maria menangis lagi, lebih parah dari sebelumnya.

Mamay ikut merasakan kesedihannya. 

Saat datang Maria didorong ke kamar kelas menengah, pindahan dari ruang ICCU. Direncanakan untuk operasi jantung. Konon harus menunggu dokternya yang sedang konferensi di Jerman.

“Jangan nangis terus. Nanti jantungmu tambah sakit, sudah, ya,” bujuk Mamay.

Maria coba menghentikan tangisnya, menyusut air matanya dengan ujung selimut. Lalu ia menatap wajah Mamay lurus-lurus. Pasti dia heran, seperti lainnya, bila menyadari wajah Mamay yang kuning. Bahkan matanya pun bersemu kuning. Maklum, pasien thallassaemia dengan komplikasi lever.

“Kamu sakit apa, Mamay?” tanyanya mulai tergerak memperhatikan teman sekamar. 

Sekilas ekor matanya melihat nama yang tertulis di botol susu kacang kedelai yang terletak di atas lemari kecil bagian Mamay.

Anak ini sering membuatnya berdecak kagum. 

Mamay jarang dikunjungi keluarganya, selain seorang perwira yang saban pagi mengantarkan sesuatu untuknya. Biasanya hanya sebentar, karena ayahnya itu harus segera pergi ke tempat tugasnya di Kodam Jaya.

“Thallassaemia…”

“Apa itu?”

“Kelainan darah bawaan. Aku harus ditransfusi darah saban bulan.”

“Sejak kapan begitu?”

Maria kini bangkit dan duduk menghadapinya, makin tertarik agaknya.

“Kata Umi sih sejak bayi.”

Maria tersentak dan matanya yang basah membelalak lebar.

“Ambooooi! Kalau sejak bayi kamu sudah ditransfusi, berapa banyak darah orang yang pernah kamu hisap? Macam drakula saja…, hihihi!”

Tiba-tiba remaja Ambon itu tertawa lucu. Menuding-nuding wajah Mamay.

“Eeeh, iya…, hihihi!”

Mamay ikut geli mendengar suara nyekikik dari bibir ungu itu.

“Penyakit kok aneh-aneh saja!” dengusnya kemudian, terdengar gemas.

“Iya…. Bukan drakula, tapi drakuli!” ralat Mamay.

“Kenapa bisa begitu?” Maria menatapnya ingin tahu.

“Karena aku cewek, bukan cowok!”

“Eeh, iya, iya…, hihihi!”

“Naah, begitu dong. Mendingan juga ketawa, ya? Hihihi….”

“Iya, iya, hihihi….” Untuk beberapa detik keduanya berhihihi.

“Aku juga sama seng punya kawan. Tapi aku mah da nggak mau nangis atuh, aaah…. Repot kalau nangis mah da. Coba sajah, sudah kesel, nyesek lagi dadanya, yah? Hiih, mending juga ketawa atuh, riang gembira, having fun sajaaaah, bahasa gaulnya mah. Betul gak, yaah?” ceracau Mamay dengan logat sundanya yang kental.

Mendengar logat yang aneh dan lucu begitu, seketika Maria tertawa ngakak. Benar-benar ngakak tergugu. Air matanya sampai keluar lagi. Kali ini bukan tangis melainkan geli dan lucu.

“Kamu ini…, lucu sekali!” tudingnya pula menepuk pelan pipi si Muka Kuning.

“Iyah atuh, aku mah da lucu. Kata orang-orang juga aku ini teh, yah, suka melucu, ngebodor begitu. Mestinya mah aku jadi bodor sajah barangkali, yah? Kayak Sule, biar jadi orang kaya…, hehehe!”

Kembali Maria ngakak hebat. Mamay jadi takut juga. Gimana coba kalau mendadak kumat penyakitnya, pikirnya.

“Sudah kenyang ketawanya?” tanya Mamay waktu Maria berhenti ketawa.

“Eeeh, iya, sudah dulu, sudah!”

Maria menyambar gelasnya, dan meminum air putih itu dengan nikmat. Taapp! 

Sepasang mata bersitatap. Tangan keduanya sudah saling menggenggam. Duduk di pinggir ranjang. Mata mereka menembus kain gordeng, menyapu pemandangan di luar sana. Suwung, saatnya pasien tidur siang.

“Lihat itu!” Maria menunjuk keluar jendela kamar.

“Hmmm….” Mamay menyahut enggan, tanpa melepaskan novelnya.

Dari celah-celah kain gordeng mereka bisa melihat nuansa petamanan rumah sakit. Taman bunga, rumput Jepang, tanaman kembang kertas berselang-seling dengan pohon beringin dan bunga kemboja. Lapangan rumput itu sering digunakan untuk olah raga para pegawai dan tentara. Di sebelah ujung sana ada bangsal khusus untuk pasien sakit jiwa dan saraf.

“Apa kita boleh ke sana?” usik Maria pula.

“Kalau kita kuat, kenapa nggak?” sahut Mamay.

Bosan juga membaca melulu, pikirnya. Mamay turun dari ranjang, lalu membantu Maria untuk mengikuti jejaknya. Beberapa jenak mereka berdiri di samping gorden jendela sambil terdiam. Mata keduanya sama menatap nuansa alam di luar sana.

Duhai, kebebasan dan kesehatan, jerit Mamay mengawang langit.

“Kamu pernah pigi ke sana, Mamay?”

“Eeeh, belum pernah. Nggak ada temen sih. Kalau sendirian keluyuran ke sana mah, aah! Takut, nanti disangka pasien gila bagaimana atuh, apanan jadi berabe?”

Maria seketika menuding ke arah blok 13.

“Psst, lihat! Ada cewek berdiri dekat tiang tuh!”

Mamay mengikuti telunjuk Maria. Benar saja, ada sosok tinggi kerempeng dalam posisi aneh. Kaki kiri diangkat, tangan dua-duanya direntangkan seperti hendak terbang.

Sementara kepalanya didongakkan ke langit.

“Kayak burung bangau di tengah sawah saja, ya?” gumam Mamay.

“Kita tengok ke sana, ayo!” Maria mendadak semangat sekali.

“Eee, apa kamu sudah sehat? Memang nggak apa-apa kalau kita ke luar?”

Mamay bimbang. Soalnya, baru kemarin oksigen dan infusan Maria dilepas. Bahkan makanannya pun masih banyak pantangan. Tak boleh makan daging dan tanpa garam. Namun lihat semangat barunya, duhai!

“Ayolah, kenapa nggak?” ujarnya sambil menyambar jilbab kaos di belakang bantal, dan mengenakannya cepat-cepat.

“Nikmatnya kalau kita di luar, hmmm!”

Maria berdecak nikmat begitu mereka sukses menyelinap keluar kamar. Melangkah pelan-pelan, menyusuri koridor menuju blok 13.

Saat-saat begini pasien sedang tidur siang, dan para perawat tengah sibuk alih tugas.

Begitu hanya beberapa langkah dari sosok aneh itu, keduanya langsung tersentak kaget. Ternyata sosok itu bukan cewek, tapi, apaan tuh?

“Bencong, ya?!”

Maria berbisik sambil mencekal pergelangan Mamay kuat-kuat. Napasnya agak tersengal. Namun semangat tualangnya kian menggebu.

“Coba tanya, kerja apa dia di situ?”

Mamay meliriknya sambil ketawa. “Yeee…, kenapa kamu teh jadi main perintah begitu?”

“Ayolah, Kawaaan!” desaknya.

Takut-takut Mamay mengintip kegiatan si Bango. “Iiih, gimana kalau dia ngamuk?”

Maria mencibir. “Ugh, kamu ini bagaimana? Belum dicoba sudah takut!”

Mamay merasa tertantang dan mendekati si Bango.

“Mbak, eeh, Maaas… Punten, aeh, maaf, ini teh lagi apa yah?”

“Ugh, jangan ganggu!” sergahnya galak tanpa mengubah posisi jurus bango terbangnya.

Maria tiba-tiba mengikik. Mamay mengikuti arah pandangnya. 

Menghunjam di bagian selangkangan si Bango.

“Astaghfirullah! Apa-apaan itu?” sentaknya kaget sekali.

Buru-buru dia buang muka. Maria malah makin geli.

“Anunya ikut dijemur, ya Maaaas?” goda Maria.

Mamay mulai cemas, ditariknya lengan Maria. “Yeeeh…, jangan begitu atuh! Ayolah, cepat kita pergi! Nanti ngamuk! Bagaimana?”

Maria menurut, balik kanan sambil menahan tawanya. Mereka baru beranjak beberapa langkah, saat si Bango berjingkrak meloncat. Dan menghambur ke arah kedua remaja itu. 

Dalam sekejap dia sudah berhadapan dengan Maria. Frontal!

Mula-mula dia hanya berkacak pinggang, lalu kedua kakinya dikangkangkan. Wooow, wooow…, syeraaam!

“Ituuuu…, iiiiyyy!” seru Mamay dan Maria ngeri.

“Aduuuh, beta takuuut!” Maria menggelayut di lengan Mamay kuat-kuat.

Si Bango malah eksyen. Sepasang matanya yang merah melotot, ditujukan ke arah Maria. 

“Tukaaar, ayooo, tukaaar!” tuntut si Bango.

Maria makin takut. Ini betul-betul horooor!

“Tukar apa?” Mamay mencoba mengalihkan perhatian si Bango.

Jadi takut macam-macam. Takut kegilaan orang itu. Takut jantung Maria kumat. Takut disalahkan, aaargh!

“Tolooong! Susteeer, Dokteeer, tolooong!” Mamay berteriak-teriak, melambai ke arah rombongan yang baru masuk dari gerbang belakang. Serentak beberapa orang bergerak ke arah mereka.

Sementara si Bango malah semakin panasss!

“Aduuuh…!” Maria menggeloso sambil memegangi tiang koridor.

“Tukaaar, ayoooo!” cecarnya tanpa ampun. Waaah, pasien sakit jiwa itu sudah jongkok di depan Maria. Tangannya bahkan mulai eksyen pula. Meraba-raba tubuh Maria. Melihat hal itu Mamay semakin ngeri. Rasanya ingin terbang saja meninggalkan tempat itu. Tapi kan kasihan Maria!

“Bapak Tentaraaaa! Tolooong!” Mamay terus berteriak histeris.

“Maaaaaay! Beta seng mau ditukar sama dorang!” seru Maria.

Tiba juga seorang perawat pria, selang kemudian diikuti tiga orang rekannya. Mereka rame-rame menarik si Bango, menjauhi kedua remaja itu.

“Kalian jahaaat! Jahaaat! Aku mau operasi kelamiiin…!” Si Bango menceracau riuh saat digelandang kembali ke blok 13. Mamay dan Maria pun digelandang balik ke ruang perawatan. Tak urung suasananya menjadi heboh.

“Lain kali kalau mau jalan-jalan, bilang dulu, ya, Nona-nona manis?” kata Suster Ika Nurika. 

Para perawat segera sibuk menyambungkan selang oksigen kembali ke hidung Maria. Memeriksa jantungnya dengan alat perekam.

Sementara Mamay duduk mencangkung di ranjangnya. Gemetar dan merasa bersalah.

“Sudahlah, Kawan!” kata Maria setelah para suster meninggalkan kamar mereka.

Mamay menengadah dan menatap wajah Ambon nan manise.

“Kamu nggak apa-apa, Maria?” tanyanya masih cemas, buru-buru turun dari ranjang dan menghampirinya.

“Beta seng apa-apa…. Amboi, beta suka main-main macam tadi. Lain kali kita ulang lagi, ya May?”

“Begitu ya, hihi….”

“Iya begitu saja, hihi…” Keduanya pun tertawa geli, mengenang lagi kronologi peristiwa siang itu.

Belakangan mereka mengetahui kisah si Bango. Konon, dia putra bungsu petinggi militer. Sudah lama dia gandrung untuk alih kelamin. Kepingin sempurna menjadi perempuan. Namun, ortunya sangat menentang. Bahkan lebih suka sang anak masuk rumah sakit jiwa daripada dioperasi kelamin.

“Kok ada ortu yang begitu itu, yah?” tanggap Mamay lugu.

“Prestise, prestiselah!” Maria mengomentari kisah yang dituturkan seorang pegawai rumah sakit itu.

“Panggil aku Meta!” Seorang remaja berperawakan tinggi kerempeng, memperkenalkan diri sebagai pasien baru. “Umurku pasti lebih tua dari kalian….”

“Beta kelas dua SMP,” tukas Maria.

“Kalo aku mah, euh, kelas tiga,” Mamay menyambung.

“Aku kelas dua SMA. Tapi badanku lebih kerempeng dari kalian, ya?”

“Yaap!” sahut Mamay dan Maria.

Maria dan Mamay serentak memperhatikan perawakan dara hitam manis itu. 

Sungguh kerempeng, seperti kurang gizi saja. Tulang-tulang dada dan bahunya menonjol. Jelas jauh lebih kurus daripada Maria.

“Paru-paruku bermasalah,” akunya polos. Belakangan mereka tahu juga, Meta mengidap kanker paru-paru, stadium lanjut. Meskipun begitu pembawaan Meta yang periang, lincah dan bersemangat membuat hati siapapun hangat.

Sejak ada Meta suasanana menjadi lebih cerah. Meta mahir dalam berbagai permainan. Mulai dari monopoli, domino, gaple, tebak-tebakan sampai catur dan game online dengan laptop mininya. Bertiga sering asyik main sampai larut malam.Terutama kalau tak ada yang datang membesuk. Atau saat-saat liburan, manakala para perawat longgar mengawasi.

Kebersamaan mereka telah lebih sebulan. Persahabatan yang kental, lahir dari perasaan senasib dalam kesakitan dan dukacita. Sering saling berbagi dalam rasa sakit, kecewa bahkan putus asa. Seperti yang terjadi malam itu.

“Tahu nggak! Aku ini sebentar lagi akan menghadap Ilahi Rob!” cetus Meta tiba-tiba di tengah keasyikan main monopoli.

“Berita basi tuh! Kita juga calon mayat da atuh! Ya kan, Maria?” tukas Mamay sarkastik. Ia mengerling Maria yang kian hari tampak makin kurus. Bibirnya pun makin membiru-ungu. Maria tengadah dan mengangguk jujur.

“Begitulah. Kami pun sudah dinyatakan tak punya harapan hidup lagi,” sahut Maria kalem. Meta memandangi wajah mereka bergantian seakan tak percaya.

“Kayaknya pergi lebih baik. Tinimbang banyak nyusahin orang tua dan adik-adik, ya kan?” Mamay seketika terdengar serius, sekaligus pasrah.

Ia berjuang keras untuk menerima kenyataan hidupnya. Melihat derita Umi dan adik-adiknya yang enam orang. Ayah yang harus berbagi perhatian antara tugas negara dengan mencari darah, mengantar makanan, menebus obat putri sulungnya.

Duhai, kesakitan! Apalagi yang harus dilakukannya selain pasrah?

“Iya, beta pun pilih jalan itu. Kasihan Mama kalau harus lebih lama lagi ikut susah,” dukung Maria.

Meta terdiam dan menekurkan wajahnya dalam-dalam. Hotel-hotel dan properti yang telah diperolehnya dalam permainan monopoli, seperti biasa selalu paling banyak. Ini hanya sebuah permainan.

“Kalian ini…, pecundaaang!” sergah Meta tiba-tiba lantang.

Maria seperti biasa lekas sekali kaget. Kali ini hanya sebentar. Kelihatannya dia mulai terbiasa dengan kelakuan Meta yang kadang mengejutkan.

“Kebiasaan amat sih? Kasihan kan Maria!” protes Mamay, memelototi Meta.

“Kalian memang dua pecundang menyedihkan! Menyebalkan! Mengerikaaan!” cerocos Meta tanpa ampun. Digebraknya papan monopoli. Permainan seru pun berantakan sudah!

Meta loncat dari ranjang Maria yang selalu dimanfaatkan untuk bermain bertiga.

“Hei, heei…, mau ke mana?” seru Mamay.

“Auk, ah, elaaap!” sahut Meta terdengar penuh amarah.

Mamay pun loncat dan mengejarnya keluar kamar. Diikuti oleh Maria yang tak sudi ditinggalkan sendirian. Masih ramai, ini malam Minggu banyak orang menunggu. Meta memilih tempat di bawah jendela kamar mereka. Senyap, tak ada orang lalu-lalang. Beberapa saat tak ada yang berbicara. Bertiga duduk di teras, memandangi cakrawala yang memamerkan langit biru bening. 

Sepotong musim kering yang panjang baru saja berlalu.

Bangunan blok 13 tampak samar-samar dilingkupi cahaya rembulan empat belas. Lamat-lamat terdengar jeritan penghuninya.

Melolong-lolong dan saling menyahut. Demikian yang selalu diperdengarkan dari arah blok khusus itu.

“Mending kayak mereka, ya? Gak perlu mikir,” cetus Meta tiba-tiba membuyarkan senyap di antara mereka. Tak ada yang menyahut.

“Kalian ini memang betul-betul….”

“Jangan lanjutkan, Meta, tolong…,” Mamay memelas.

“Kalau bukan pecundang, apa coba?”

“Damai, damailah kita sama takdir, yeah?” Maria menukas.

“Iya, kita ini orang beragama. Pasrah sajalah! Memangnya mau apalagi?”

“Sudahlah, ayo balik!” Maria menggamit tangan Mamay. Keduanya seketika balik kanan, meninggalkan Meta yang terperangah.

Hari-hari berikutnya dilalui mereka dalam kemuraman yang kian mengental. Maria semakin sering kumat, sehingga bolak-balik diangkut ke ruangan ICU. Mamanya belum kembali dari Ambon. Kaum familinya tak seorang pun yang muncul.

Meta mulai menjalani kemoterapi dengan berbagai efek mengenaskan yang diperlihatkannya. Kadang ia mau ditemani neneknya, satu-satunya orang yang masih memedulikan dirinya.

Namun, ia lebih sering minta dibiarkan menanggung deritanya sendirian. Sang nenek terpaksa meninggalkannya sambil bercucuran air mata.

Sementara Mamay masih bolak-balik menjalani berbagai pemeriksaan. Mulai dari yang ringan seperti diambil darah, hingga yang menyakitkan diambil cairan sumsum tulang. Ia sering merasa dirinya sebagai riset dan percobaan para dokter.

Kamar mereka terasa muram dan sendu. Tak ada lagi tawa canda, main tebak-tebakan atau suara cekikikan. Terbang terbawa angin kesakitan yang tiada ujung, tak tahu kapan berakhir. Dan bayang-bayang kematian itu serasa kian mendekat. Siap menyergap.

Petang itu, manakala tak ada yang membesuk. Meta mengajak Mamay ke ICU. Kali ini mendapat restu dari Suster Ika Nurika. Bahkan diantar sampai tujuan, dibiarkan untuk menyelesaikan uneg-uneg. Demikian istilah Mamay sebagai dalih saat minta izin.

Berdiri di belakang jendela kaca, lama keduanya hanya tertegun-tegun. Dua pasang mata mengarah lurus-lurus ke atas ranjang Maria. Letaknya tepat di samping jendela kaca. Maria sungguh tak berdaya. 

Alat-alat penyambung kehidupan bak mengeroyok tubuhnya yang ringkih, seperti menciut.

“Apa kita boleh masuk?” bisik Mamay, merasakan dadanya sesak. Air bening mulai merembes dari sudut-sudut matanya.

“Kenapa nggak, ayooo!” sentak Meta seperti biasa gampang terkompori. Mamay merasakan tangannya dihela kuat.

Blaaasss…, tahu-tahu mereka sudah masuk ke dalam ruangan full AC itu!

“Hei, mau apa kalian?” seorang suster tersentak menjegal langkah mereka.

“Mau nengok sobat kami, boleh kan?” sergah Meta cuek.

“Tapi kalian…, pasien kan?”

“Sudahlah, biarkan mereka, Dik Titin!” 

Ups, Suster Ika Nurika sudah balik dari laboratorium agaknya.

“Ooh, pasien Ceu Ika?” Suster Titin melembut. “Tapi ganti baju dulu, ya!”

Kedua remaja itu menurut, mengenakan baju khusus warna hijau pupus. 

“Pssst, ayo ngomong, May.” Meta berbisik saat mereka sudah berada di samping ranjang Maria.

“Iya, iiih! Tapi ngomong apa atuh?” Mamay menyentuh tangan Maria. Dingin. Air bening mulai merembes di pipi-pipinya yang pucat.

“Trus, ngomong teruus…,” bisik Meta lagi, sama mulai menderaikan air mata pilunya.

“Apa kamu bisa dengar kami, Maria?” sapa Mamay. Tak ada reaksi. Hanya alunan napas satu-satu, begitu lembut dan semayup.

“Dengarkan saja omongan kami, ya?” tukas Meta sekuat daya menahan air matanya. 

Ia mengambil jari-jemari Maria dan menggenggamnya erat-erat. 

Seolah ia ingin mengalirkan hawa kehidupan, kehangatan dan uluran persahabatan yang telah mereka pupuk dalam dua bulan terakhir. Mamay mengikuti jejaknya.

Maka, dalam sekejap jari-jemari ketiganya telah lekat menyatu.

“Begini, Maria sayang,” Meta mengawali curhatnya. “Aku sudah dikemo sekali. Kamu nggak sempat lihat aku muntah-muntah, maboook! Kasihan Mamay, ikut mual dan ikut muntah…. Mmm, giliran kamu, May!”

“Dokter sarankan, limpaku harus diangkat secepatnya,” sambung Mamay. “Sudah gede banget sih. Katanya S6, hihihi…. Kayak gelar sarjana saja, yah?”

“Pssst, Maria, dengarkan baik-baik, ya!” sambar Meta lagi. “Kamu harus kuat! Biar bisa keluar lagi dari ruangan ini. Bener nih, sehat lagi, ya? Nanti kuberikan kotak musik Balerina itu buatmu. Sueeer!”

Sementara air mata kedua dara itu terus-menerus berbuncah ruah.

“Aku yakin dan percaya dengan semangatmu, Maria! Kan kamu harus ketemu Mamamu…. Kalau kamu keluar dari ruangan ini, aku akan berikan semua koleksi buku harian dan novel Islami milikku itu. Asliii!”

“Yeee…, tapi dia kan noni!” 

Meta mengingatkan, mengusap air matanya yang meleleh hebat di pipinya, sebagian membasahi tangan sahabat tercinta. 

“Jangan maksa deh, ah!”

“Eh, iyah, yah…. Tapi, selama ini Maria 

senang kok baca novel Islami?”

“Itu kan lantaran gak ada bacaan lagi!”

“Gak lah, wong dia juga punya majalah kok….”

“Iya, tapi itu majalah lama, taaa-huuu!”

“Pokoknya….” Meta mulai main pelotot. Mamay juga tak mau kalah. Balas melotot, meski air bening masih jua mengalir deras dari sudut mata keduanya.

“Ka-li-aaan…, ba-ku han-tam lagi?” 

Sekonyong ada gumam meruyak. Meta dan Mamay seketika terdiam, tangis pun mendadak berhenti. Serentak keduanya mengalihkan pandang ke wajah Maria. Sepasang mata sembab itu terbuka. Bibirnya yang keunguan menyungging senyum tipis.

“Mariaaaa!" Seru keduanya tertahan.

Betapa ingin Mamay dan Meta memeluknya kuat-kuat. Namun, kabel-kabel yang mengeroyok di atas tubuh kecil itu, membuat keduanya mengurungkan niat. 

Mereka hanya bisa lebih mendekat, lebih erat menggenggam telapak tangannya.

Masih kelewat dingin, kesah Mamay dalam hati.

“Kamu mau ngomong apa?” tanya Mamay, kembali menitikkan air mata.

“Nanti, kalau beta pergi lebih dulu….”

“Pssst, jangan bilang begitu!” tukas Meta, sama menitikkan air mata.

“Tapi beta harus bilang….” Maria berjuang keras untuk mengucapkan kata demi katanya. Air mata kian buncah di pipi Meta dan Mamay. 

“Kalau beta pergi sambil senyum, tolong bilang Mama, ya…. Beta sudah bahagia dan damai di sana….”

Di bawah kesaksian dua sahabatnya, sesungging senyum memang kemudian meleret di bibir bersemu ungu itu. Selamat jalan, Saudariku sayang.

Pagi itu, hari Minggu yang kelabu. Hujan bulan Desember senantiasa mengguyur sepanjang malam. Kini tinggal gerimis yang masih renyai. 

Berdiri di koridor seberang kamar jenazah, Mamay dan Meta bungkam seribu bahasa. Mereka tahu diri, tak mungkin lebih mendekat lagi. Suster Ika Nurika menggenggam telapak tangan keduanya erat-erat.

Rombongan jemaah gereja telah mengangkut kereta jenazah Maria. 

Mama Maria lungkrah dan nyaris pingsan, digandeng oleh dua orang ibu. Tak tampak sosok ayah yang pernah diperlihatkan Maria melalui potretnya. Maria pernah curhat, tentang ayah yang tak bisa menerima kenyataan putri semata wayangnya penyakitan.

Ujung-ujungnya lelaki itu merasa tak tahan, pergi meninggalkan keluarganya. Entahlah!

Ambulans mulai bergerak meninggalkan kawasan rumah sakit. Suara sirine menggaung dan terdengar amat memilukan. Seolah-olah mengingatkan bahwa suatu saat prosesi seperti ini akan menimpa siapa pun, tanpa ampun!

“Sudah, ya? Kita balik, yuuuk?” Suara lembut Suster Ika Nurika memecahkan hening yang mengapung. Tak ada yang berkata-kata selain anggukan lemah.

Mamay mencoba mencari sesuatu di cakrawala di atas kepalanya. Sesuatu yang bisa melegakan rongga dadanya.

Tidak, tiada sesuatu apapun kecuali; pasrah lilahitaala.

(Repost Depok, 1444 Hijriyah)

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama