Helvy Tiana Rosa
Helvy Tiana Rosa
Laut datang seperti kabar buruk,
menjatuhkan pinto, mengangkat rumah-rumah
Kupiah mengapung di antara arus,
sajadah menjadi layar kecil
yang tak tahu harus melawan atau menyerah.
Pasir mencatat nama-nama kami,
tapi ombak dengan dingin menghapusnya,
seolah berkata,
“Aku akan membawa, tapi tak akan mengembalikan.”
Di malam yang berbau garam,
aku melihat mereka:
Safiatuddin melangkah dengan tenang,
membawa sepotong cakrawala di tangannya,
matanya berbicara pada kelam.
Keumalahayati menyusuri ombak,
siwah di tangannya memantulkan doa
yang memecah suara angin.
Cut Nyak Dhien membangun tiang-tiang zikir
dari puing-puing meunasah,
mengukir semangat di antara reruntuhan.
Cut Nyak Meutia memungut pecahan dinding,
merangkainya menjadi rumah-rumah baru
yang mengalirkan napas bagi gampông.
Pocut Baren memeluk pawana,
mengubahnya menjadi zikir yang menjalar ke ufuk.
Dan Pocut Meurah Intan berbicara pada pasir,
menghidupkan kembali jejak-jejak yang hilang
dengan suara melintasi waktu.
“Aceh bukan tanah yang akan menyerah,
tapi tanah yang melahirkan keberanian.”
Suara-suara mereka lesap ke dalam tubuhku,
dan pasir di bawah kakiku mulai bernapas lagi.
Di antara reruntuhan,
aku memungut kembali diriku sendiri,
seperti puing yang mencari tempat pulang.
Dua puluh tahun berlalu,
dan gampông ini tidak lagi sama
Di setiap jalan,
aku melihat tangan-tangan bekerja,
mengubah duka menjadi pilar-pilar baru.
Pohon geulumpang tumbuh dari lara,
rantingnya menggenggam langit,
akar-akarnya memeluk tanah
yang basah oleh kenangan dan doa.
Laut tetap datang,
menghapus jejak, menulis ulang garis pantai,
tapi kami terus berdiri,
di bawah bayang pohon yang menjulang,
di antara doa-doa yang menyala.
Aceh adalah tanah yang akrab dengan luka,
tapi dari luka-luka itu,
kami belajar untuk terus tegak,
menanam harapan,
membangun keberanian
yang tak akan pernah tenggelam.
(Helvy Tiana Rosa, Jakarta, 26 Desember 2024)
Posting Komentar