(Oleh Mila Muzakkar)
"Puisi Esai ini seperti mengacak-ngajak pengertian puisi yang Indah, yang selama ini kita pahami bersama. Puisi itu kan berirama, pendek, dan Indah dibaca.
Begitu kira-kira potongan kalimat yang disampaikan seorang sastrawan dan jurnalistik, yang juga salah satu peserta Workshop Puisi Esai, yang diikuti beragam Komunitas Anak Muda di Jakarta. Workshop ini yang diadakan oleh Komunitas Puisi Esai Indonesia berkolaborasi dengan Generasi Literat.
Beberapa peserta lainnya juga kurang lebih menanyakan hal yang sama. Agak kaget, bingung, aneh, adalah beberapa respon mereka. Beberapa pertanyaan kritis juga keluar dari mereka, misalnya: "Pak Denny sebagai penggagas puisi esai harus mempertanggung jawabkan gagasannya."
Sementara sebagian lainnya seperti mencoba mengikuti penjelasan tentang apa itu puisi esai. Yang excited juga enggak sedikit. Mereka kayak mendapatkan "mainan baru" yang bikin penasaran untuk dicoba.
Pada akhirnya, mereka tertantang menuliskan puisi esai sesuai topik yang diminati. Dari kasus pembunuhan orang tua oleh anak, masalah punahnya Bambu di Tangerang, hingga kasus yang lagi viral (Miftah & penjual es teh), mereka tuliskan.
Dalam testimoninya, salah satu peserta workshop yang di awal cukup kritis dengan "keanehan" puisi esai, mengaku: "Saya terkesan dengan worshop puisi esai ini karena membuka mindset saya tentang jenis sastra yang baru sebagai ruang ekspresi.
Begitulah anak muda yang mau maju. Terbuka dengan hal-hal baru, mau mempelajarinya, dan mengambil yang positif darinya.
*Beda Artinya Enggak Sama*
Kalau kita tanya Artificial Intelegence (AI), di sana ada jawaban bahwa PUISI adalah karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif.
ESAI adalah karya tulis yang mengeksplorasi suatu masalah dari sudut pandang pribadi penulis.
Sementara PUISI ESAI adalah bentuk karya sastra yang menggabungkan elemen puisi dan esai, yang di dalamnya ada ekspresi perasaan dan pemikiran analisis yang lebih eksplisit, namun disampaikan melalui fiksi dan imajinasi, dan menggunakan catatan kaki untuk menyampaikan konteks sosial dan fakta. Atau bisa juga kita bilang, Puisi Esai adalah tulisan tentang fakta sosial yang difiksikan supaya lebih eksploratif, menarik, dan menyentuh pembaca.
Kalau kita mau membuka pikiran, dan jeli dalam belajar, dari pengertiannya saja kita bisa memahami bahwa Puisi Esai bukan puisi, bukan pula esai. Karena bukan keduanya, maka pengertiannya pun berbeda, alias enggak sama, kenapa disamain? Sesimpel itu enggak sih cara mikirnya?
*3 Kekuatan Puisi Esai*
Mari kita baca potongan puisi Chairil Anwar, yang judulnya, "Aku":
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Kira-kira apa maksud, makna, tujuan puisi di atas, dan ditujukan ke siapa puisi itu? Kalau aku coba menebak, mungkin puisi itu bicara tentang independensi seseorang yang enggak akan tergoda oleh iming-iming harta dan jabatan, atau sikap kritis seseorang pada satu hal, atau bisa jadi ada pengertian lainnya.
Tapi agak sulit ya nebak-nebak apa konteks Chairil Anwar bicara begitu saat itu? Dan dia sebenarnya mau "nembak siapa"?
Sementara dalam Puisi Esai, paragraf pertama berisi konteks, waktu, lokasi, korban/pelaku/tema tentang fakta sosial yang terjadi. Lalu di akhir puisi, ada catatan kaki yang isinya link berita/video/foto tentang fakta sosial yang dibahas. Ini *kekuatan Puisi Esai yang pertama*: mengangkat fakta sosial yang betul terjadi, dan umumnya sudah menjadi berita besar. Jadi, pembaca awam pun, yang enggak paham puisi, mudah memahami maksud dari puisi esai itu.
*Kekuatan kedua*, puisi esai mengangkat fakta sosial yang menyangkut isu kemanusiaan, seperti kelompok marginal, perempuan, anak-anak, juga konflik dan kekerasan atas nama SARA. Jadi, semangatnya adalah memperjuangkan suara-suara yang tak terdengarkan. Which is ini adalah pekerjaan mulia.
Selama ini, puisi itu terkesan "ekslusif" karena hanya ditulis oleh orang-orang yang dianggap mampu mencipta kata-kata metafor, punya jiwa seniman dan imajinasi yang tinggi, dan biasanya isi puisi itu hanya dimengerti oleh sebagian orang.
Mereka yang enggak masuk kategori itu, ragu bahkan takut menulis puisi, karena khawatir dianggap enggak sesuai dengan "aturan puisi". By the way, aku termasuk salah satunya. Belum berani nulis puisi karena merasa nggak mampu menulis kata-kata puitis. Jadi, aku memilih menulis esai saja.
Di puisi esai, siapa pun bisa menulis. Enggak harus seniman, enggak harus juga ahli berkata-kata puitis. Karena di puisi esai, kata-kata puitis hanya semacam bumbu pelengkap. Inilah *kekuatan ketiga* dari puisi esai.
Jadi gimana sebaiknya kita merespon puisi Esai ini?
Yah, enggak perlu ada pertanyaan itu.
Waktu kecil, kita mulai mendengar kosa kata dari orang sekitar, lalu secara alami menginternalisasi artinya, dan mengucapkannya seperti orang-orang yang kita lihat di sekitar. Puisi esai pun begitu. Pas baru dengar, kita pelajari, lalu memahaminya sebagai bagian dari jenis tulisan, dan kalau tertarik, kita mencoba menuliskannya. Kalau enggak, enggak apa-apa juga, enggak perlu menuliskannya. Aman kan?
Tanggal 13-14 Desember, Festival Puisi Esai akan dirayakan di Taman Ismail Marzuki (TIM). Ini sudah festival kedua. Pengisi acara dan tamu undangannya datang dari berbagai daerah di Indonesia, juga dari Jerman, Singapura, dan Malaysia.
Penyair, jurnalis, sastrawan, akademisi, mahasiswa, pelajar, dan siapa pun akan hadir di sini. Acaranya terbuka untuk umum. Siapa pun yang tertarik, diundang untuk ikut merayakan Puisi Esai sebagai bentuk Kesaksian Generasi Baru.
Yakin enggak mau ikutan?
Posting Komentar