Puisi Esai
Cak AT - Ahmadie Thaha
Langit pagi itu berselimut biru muda,
pepohonan rindang menari perlahan,
angin membawa wangi Tanah Toraja,
di halaman gereja kursi-kursi tertata berurutan.
Di layar latar, gambar Kristus tersenyum
lembut,
diapit lilin yang menyala dalam kesunyian.
Pendeta dengan jubah hitam berbaris rapi,
suara doa mengisi celah antara bisik dan haru.
Di baris belakang, seorang ibu berjilbab,
wajahnya keriput menahan beban hati.
Senyumnya tipis, seakan berkata pada dirinya:
"Ini anakku, darahku, jantung kehidupanku."
Amri, anak laki-laki satu-satunya,
yang dahulu ia ajari membaca alif-ba-ta,
berpuasa bersama di bulan suci,
mengulang hafalan ayat di madrasah tua.
Namun kini, ia berdiri di altar,
mengenakan jubah putih pelayan Tuhan,
mengucapkan janji setia kepada salib,
meninggalkan jejak masjid yang pernah ia
cintai.
"Apa salahku sebagai ibu?"
tanya hati yang tenggelam dalam lautan resah.
Gelombang pikirannya memukul tanpa henti,
seperti ombak yang menghantam tebing sunyi.
Ia teringat malam ketika Amri berkata:
"Bu, aku memilih jalan berbeda."
Kata itu bagai hujan geledek di musim kering,
membanjiri hatinya dengan pertanyaan tanpa
akhir.
"Apakah ini dosaku, Ya Allah?"
ia menangis dalam sujud panjang.
"Apakah aku lalai mengajarinya,
atau ini takdir-Mu yang tak bisa kuelak?"
Amri, dengan mata penuh keyakinan,
berkata: "Bu, aku tetap anakmu.
Keyakinanku kini berbeda,
tapi kasihku padamu tak pernah berubah."
Namun kata itu, selembut apa pun,
tak mampu menghapus luka di hati seorang
ibu.
Ia teringat doa-doanya yang panjang,
mengharap anak ini menjadi ahli surga.
Kini ia berdiri di halaman itu,
di antara kursi-kursi hadirin yang memandang
Amri,
air matanya jatuh tanpa suara,
seperti embun yang lenyap di bawah sinar
mentari.
"Anakku, hidupmu seperti kapal kecil,
terombang-ambing di laut keyakinan.
Tapi laut itu bukan milikku,
aku hanya penjaga dermaga."
Ombak batinnya menghempas dirinya lagi,
tanggung jawab pada Tuhan terasa begitu
berat.
"Bagaimana aku menjawab di hari akhir?
Ketika ditanya, di mana ia sekarang?"
Namun ia tahu,
cinta seorang ibu tak mengenal batas.
Ia tak mampu membenci darahnya sendiri,
meski jalan yang ditempuh terasa asing
baginya.
Di akhir acara, Amri mendekatinya,
membawa senyum yang ia kenal sejak kecil.
"Bu, aku tahu ini sulit bagimu,
tapi aku mohon, tetaplah bersamaku."
Sang ibu menggenggam tangannya,
kering namun penuh kehangatan.
"Amri, aku tak pernah meninggalkanmu.
Tapi aku juga tak pernah berhenti berdoa."
Di jalan pulang,
ia melangkah dengan hati yang berat,
namun ada cahaya kecil dalam kegelapan,
seperti bintang yang tak menyerah pada
malam.
Ia tahu, takdir anaknya kini berbeda,
tapi ia masih menyimpan harapan,
bahwa suatu hari,
laut yang tenang akan membawanya kembali.
"Amri, keyakinanmu mungkin berbeda,
tapi aku tetap ibumu,
dan doaku adalah laut yang tak pernah kering,
mengantarkanmu ke pantai yang sejati."
Hari itu ia menatap langit,
dan berkata pada Tuhannya:
"Ya Allah, kuatkan aku mencintainya,
seperti Kau mencintai hamba-Mu yang
berdosa."
Di halaman gereja yang kini sunyi,
sang ibu meninggalkan jejak langkah,
membawa cinta yang tak terukur,
dan tangis yang tak terlihat oleh siapa pun.
~{}~
Keterangan:
(1) Kisah ini diinspirasi oleh realitas kebebasan beragama di Indonesia, di mana perpindahan keyakinan sering kali menimbulkan konflik batin dalam keluarga. Laporan terkait dapat ditemukan dalam penelitian Human Rights Watch tentang kebebasan beragama di Indonesia.
(2) Tanah Toraja dikenal sebagai wilayah dengan keberagaman budaya dan agama yang tinggi, namun perpindahan keyakinan tetap menjadi isu sensitif.
_Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 12/12/2024_
Posting Komentar