Dilamar Cowok Krinyis



Pipiet Senja 

Anno, 1976

Novel jadul ini aku garap selama diopname di RS Dustira Cimahi. Maklum, diopname berbulan bulan.

Aku menulisnya tiap bada subuh. Kadang di kamar mandi, karena tak mau ganggu pasien sebelah dengan bunyi mesin ketik si Depok. 

Namun, syukurlah kamarku lebih sering dihuni oleh si Drakuli ini alias daku sorangan wae. Makanya leluasa sekali aku menggarap novelet Payung Tak Terkembang.

Sebenarnya bukan hanya satu kugarap novelet tema: Problema Wanita. Ada beberapa, kalau tak salah 3 karyaku untuk tema ini. Diterbitkan oleh Selecta Grup.

Sainganku kala itu adalah Yati M Wihardja, penulis asal Ciamis. Orang Selecta sering tertukar. Yati M Wihardja dengan Pipiet Senja. 

Ketika Yati M Wihardja telah meninggal, aku muncul di Selecta. Ada editor yang terkejut dan berteriak, seperti ketakutan. Horooor banget!

"Eeeèeh, Pipiet Senja bukannya

sudah meninggal?

Agaknya dia tertukar nama asal kami berdua yaitu; Cimahi dengan Ciamis. Kacowlah hayyaaa!

Kembali ke RS Dustira, oke?

Nah, sering juga aku bawa si Denok keluar kamar. Duduk di bawah pohon Kamboja. Taktiktok sendirian. Lupa waktu akhirnya jadi buronan suster dan dokter. Hihi.

Satu hari lagi asyik mengetik, seketika ada anak muda berdiri di hadapanku.

Ganteeeeng, euy!

Wajahnya bersih, bening dengan dua dekik pipi nan menawan. Tubuhnya tinggi langsing menguar harum parfum. 

Hmmm, bukan harum maskulin seperti parfum Bapak.

Kurasa harum parfum seperti punya adikku En.

Syeeeet dah, gangguan setan nih, pikirku. Setan ganteng!

"Kamu penulis ya, Dek?" tanyanya dengan suara yang lembut.

Haiiisssh, kok krinyis krinyis begitu? 

Aku menengadah, menatap lurus wajahnya. Mulai curiga nih gw. Hehe.

Rasanya terlalu lembut tuh suara sebagai seorang cowok.

"Iya, aku penulis. Nama penaku Pipiet Senja...."

Tiba-tiba dia bergerak dengan gestur tubuh melambai.

"Aiiiiih, kamu penulis idolaku, tahuuuu! Sudah lama aku membaca karyamu, bahkan mengumpulkan semua karyamu...." 

Dia bergerak terus mendekatiku, seperti hendak merengkuhku. Melihat gerakan tubuhnya yang melambai dengan suara lembut begitu. Karuan aku terkejut.

Ambyaaaar!

Pasti bences nih.

Segera sigap aku mengambil si Denok. Gegas merapikàn kertas hasil kerjaku sepagi itu.

Melihat reaksiku itu si Krinyis berhenti terpaku. Tetap memandangiku lekat-lekat. 

"Badanmu tampak kuat, strong. Haiiish, dibilang sakit apa sih kamuuuu?" tanyanya sambil terus menatapku, dari kepala sampai kaki.

"Bukan urusanmu, eh! Pake tanya penyakitku segala," tukasku ketus.

Si Krinyis malah tertawa.

"Gak gitu juga kaleee," ujarnya masih dengan suara lembut.

"Sudah, ya, aku harus kembali ke ruangan...." Aku sudah selesai mengemas si Denok dan kertas kerjaku.

"Èeh, sebentar, sebentar!" cegahnya menghalangi jalankan.

"Ada apa sih? Minggiiir!" Ketusku mendadak sebal.

Si Krinyis mengembangkan kedua tangan, bagai hendak memelukku.

"Mau gak ya kamu merit denganku? Oya, namaku Kasirun, eh itu nama KTP. Sekarang namaku jadi Karmila..."

Karuan aku semakin kesal sekaligus panik. Macam-macam prasangka mendadak seliweran di otakku.

Bagaimana kalau si Krinyis ini nekad? Memaksa, menyeretku ke Penghulu?

"Ayolah, Say.... Sekarang ikut eyke cari Penghulu, ya, ya, pliiiis...."

Whoaaaaa!

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama