Pulo Lasman Simanjuntak
Sampai hari ini belum ada dikeluarkan pedoman atau semacam kode etik proses kreatif menulis karya sastra mempergunakan teknologi kecerdasan buatan atau AI ( Artificial Intelligence).
"Belum ada. Kita tidak tahu siapa, atau lembaga apa, yang berwenang mengesahkan pedoman proses kreatif menulis karya sastra mempergunakan teknologi AI," ujar Penyair dan Sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda dalam wawancara khusus di Jakarta, Rabu (29/1/2025).
"Kalau karya jurnalistik sudah dikeluarkan oleh Dewan Pers didukung Persatuan Wartawan Indonesia atau PWI pekan lalu.Bidang sastra sampai hari ini tak ada," ujar Penyair dan Sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda dalam wawancara khusus di Jakarta, Rabu (29/1/2025).
Sementara Ketua Simpul Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Imam Ma'arif dihubungi pada Rabu sore (29/1/2025) juga mengakui sampai hari ini belum ada pedoman tertulis proses kreatif menulis karya sastra mempergunakan teknologi AI.
"Wah, kalau sastra pasti belum. Untuk urusan kreatif pasti sulit menggunakan regulasi. Bisa polemik itu," ucapnya.
Gunakan AI Bisa Terjadi Plagiarisme
Menjawab pertanyaan apakah bila menggunakan teknologi AI dalam proses kreatif menulis-kalau tak ada kejujuran idealisme-bisa terjadi plagiarisme dalam sebuah karya sastra yang tak bermutu ?
"Saya mau jawab serius.Namun, harus buka UU Hak Cipta dan UU ITE. Kebetulan saya sedang liburan sekeluarga di Bandung. Soal plagiarisme di UU HAK CIPTA dan UU ITE sudah diatur. Saya kira plagiarisme dengan AI sudah termasuk yang diatur di dalam kedua UU tsb," jawab Ahmadun Yosi Herfanda.
"Meskipun tidak secara eksplisit menyebut teknologi AI. Saya harus baca lagi kedua UU itu. Maaf belum bisa jawab panjang lebar. Yang terpenting dari itu semua adalah kejujuran dan idealisme pengarang, baik penyair, cerpenis, maupun esais," pesannya.
Diatur atau diberi pedoman macam apa pun, kalau pengarangnya memang tidak jujur dan tak punya idealisme, pedoman itu akan dilanggar begitu saja.
"Dalam hal kejujuran, plagiat itu kan mirip korupsi. Sudah ada UU, sudah ada KPK, sudah ada sanksi yang berat, korupsi masih saja terjadi.Yang korupsi bahkan termasuk sebagian penegak hukum sendiri. Bahkan juga orang-orang yang tampaknya agamanya baik. Integritas moral bangsa kita memang cenderung rendah," kata mantan Redaktur Sastra Harian Umum Republika ini.
"Bagitu juga saya kira kalangan sebagian pengarang, dan penyair integritas moralnya cenderung rendah. Banyak kasus yang membuktikan kecenderungan itu. Apalagi AI sekarang makin cerdas. Saya tadi malam iseng-iseng bikin puisi dengan aplikasi NOVA dan GEMINI. Bagus-bagus jadinya. Penyair pemula aja kalah bagus," katanya lagi.
Lagi pula perintah yang sama, lanjutnya, ketika kita masukkan pada saat berbeda, jadinya puisi yang agak berbeda. Apalagi kalau kita masukkan dengan kata-kata kunci yang berbeda, akan jadi puisi yang berbeda.
"Karena itu, sangat mungkin pada saatnya nanti penyair akan dikalahkan oleh AI. Nah, ini yang mendorong plagiarisme. Penyair yang malas, tidak jujur, dan integritasnya moralnya rendah, bisa terjerembab ke plagiarisme semacam itu. Apalagi di NOVA masih ada penggunaan gratis. Sedang GEMINI, bagi pengguna Telkomsel, masih sepenuhnya gratis " kilahnya.
Penyair yang juga wartawan senior Ahmadun Yosi Herfanda menambahkan yang paling mungkin barangkali perlu dibuat aplikasi yng bisa mendeteksi seberapa besar peran AI dalam suatu karya sastra .
"Lalu disepati bersama, peran berapa persen untuk menyebut karya sastra itu plagiat," pungkasnya.
Sedangkan Giyanto Subagio mengatakan tak perlu ada pedoman proses kreatif menulis karya sastra mempergunakan teknologi AI.
Apalagi untuk sebuah proses kreatif menulis karya sastra berupa kritik sastra untuk karya puisi, sajak, cerpen, atau novel.
"Diperlukan estetika dan harmonisasi.Harus ada aspek keindahan termasuk dalam sebuah kritik sastra bila menpergunakan teknologi AI yang cenderung mempergunakan referensi dan berbagai sumber pustaka," kata Penyair Giyanto Subagio.
Bung Edo panggilan akrabnya, memberi contoh bagaimana para tokoh sastra seperti HB.Jassin, Prof.Budi Darma, Dami N Toda, MS.Hutagalung, membuat suatu kritik sastra yang punya estetika, etika, serta harmonisasi keindahan.
"Kalau kritik sastra mempergunakan teknologi AI pasti tak memiliki estetika dan etika, cenderung hanya gunakan referensi saja.Pasti lebih canggih otak dan pikiran manusia yang asli, ketimbang teknologi kecerdasan buatan. Pemikiran manusia punya nilai-nilai spiritual. Apa teknologi AI punya nilai spiritual, tentu tidak," tegasnya.(Pulo Lasman Simanjuntak)
Posting Komentar