Ya Robbana, Terima Kasih Tak Terhingga



Pipiet Senja 

Prolog:

Perkenankan sebagai rasa syukur, Tuhan masih memberiku waktu hingga kini. Bulan Mei 2025 mendatang, 69 tahun umurku. 


Konon, aku penyintas Thallasemia tertua di Indonesia. Thaller yang wajib ditransfusi sejak umur 9 tahun 1-2 bulan sekali. Sekarang dua pekan sekali dengan gempuran penyerta.


Selain Thallasemia ada Kardiomegali, DM, HT, Ashma bronchiale, Gerd lambung, kista di Ginjal dan Osteperosis.


Acapkali kulihat dokter agak lama saat memutuskan pemberian obat untuk si Lansia ini. Diberi obat antinyeri untuk Osteperosis, kuatir berdampak kena ginjal.


“Kita fokus normalkan jantung dan thallasemia dulu, ya Bu,” kata dokter Albert tempohari, saat aku kembali konsul Orthopaedi.


Bermalam-malam tak bisa tidur nyenyak. Setiap beberapa menit terbangun, merasai nyeri nyutnyutan di bagian pinggang. Duh, kuperiksa tensi ternyata 190/100. Bagaimana kalau terus melejit dan stroke?


Terpaksa malam itu juga konsul dokter Prita, sahabatku. Melalui WA aku sering curhatan masalah sakit. Beliau dengan gercepnya mengirimkan obat yang kuperlukan.


Alhamdulillah, malam tahun baru itu aku tertidur lelap dampak obat dari dokter Prita.


Maka Inilah Kenangan 25 Tahun Silam


Hari ke-3, bulan Ramadhan dalam hidupku.

Jakarta diguyur hujan, banjir di mana-mana.

Sejak keberangkatan dari Depok, hujan sudah mengucur deras.


Malangnya aku baru engeuh alias menyadari, jika jadwal transfusiku sudah tiba. Seharusnya ditransfusi sejak 2-3 minggu lalu, tapi karena satu dan lain hal (terus terang, biasanya ini menyangkut dana!) maka beginilah jadinya.


Lagipula, mana ada orang yang berani datang ke rumkit dengan uang ngepas? Bisa-bisa bukannnya diobati malah sebaliknya penyakit bertambah, mau plus darting, hayo?


Hari itu, sekitar pukul enam pagi aku sudah berangkat dari rumahku yang mewah alias mepet sawah.


Bayangkan saja, bagaimana lengket dan beceknya tanah di kawasan kampung Cikumpa. Jadi, jangan berani pakai sepatu bagus di sini. Bisa-bisa cuma tahan seminggu, dipastikan bakalan jebol; ambrol!


Kupilih jalan alternatif dan ongkos terjangkau melalui Simpang Karet. Naik angkot ke Simpangan Depok, dilanjutkan angkot lagi ke simpang Gas Alam. Dari situ naik ojek dulu, baru dengan mobil omprengan. Lumayan, bisa langsung melewati RSCM.


Di tengah jalan penumpang terbelah suara. Sebagian besar minta jalan ke Senen, enggan melalui Salemba. Karena banjir dan macet total di kawasan Jatinegara, Cawang.

Pada kenyataannya, macet total juga di kawasan Cempaka Putih.


Air mbludak sampai setengah meteran. Kendaraan macet di sini saja nguyek sampai dua jam!


Akhirnya aku sampai di RSCM pukul 11.35. Loket Askes sudah tutup. Terpaksa aku ngotot dulu dengan seorang petugas.

“Besok aja, gak bisa sekarang! Lihat tuh, aturannya kan tutup jam sepuluh tadi!”


“Jangan begitu, Pak! Ini jadwal transfusi saya. Paling HB saya ini tinggal enam persen. Bapak mau lihat saya semaput di sini?” kataku memelas sambil menahan gigilan aneh yang merambah melalui ujung-ujung jari kakiku.


“Iya, Pak, peraturan kan bisa dikompromikan karena kondisi darurat,” dukung calon pasien lain di belakangku.

“Ya sudah … Sini, mana kartu Askesnya!”


Begitu kek dari tadi, kenapa harus adu otot dulu, pikirku heran. Di loket klinik Haematologi tak ada masalah.


Para susternya sudah tak asing lagi denganku.

Maklum, pasien sejak 1981, ketika mulai hamil anakku sulung.


"Harus ditransfusi, kalau bisa hari ini juga, ya!" ujar dokter setelah mencermati hasil laboratku. HB-nya memang hanya 6 % gram.


Maka, aku pun jalan ke PMI Pusat di jalan Kramat Raya. Pakai angkot, masih hujan-hujanan, dan tanpa payung fantasi. 


Baru kutahu kalau bulan puasa persediaan darah di PMI terbatas sekali. Bahkan meskipun golongan darah O yang biasanya banyak.


"Jadi.... besok apa bisa?"

"Gak berani janji, Bu. Sebaiknya telepon dulu deh ke nomer ini, ya, Bu," petugas memberikan kartu PMI.


Aku pulang dengan tubuh ringkih dan semakin lemas. Mataku semakin sering berkunang-kunang, pandanganku kadang gelap kadang kelabu. Aneh!


Pukul enam sore, rumah berantakan dan tak ada makanan. Aku hanya bisa membeli sedikit penganan dan lauk alakadarnya. 


Terpikir untuk minta bantuan Asma Nadia. Ada honor editing yang belum dibayarkan, dan cerpen untuk antologi. Ya, semoga saja dananya sudah ada dari FBA, doaku dalam hati.

Oya, kala itu Asma Nadia menjadi PJ-nya FBA. Aku dan beberapa teman FLP sering dimintai untuk mengedit naskah.


"Jadi, Mama belum bisa ditransfusi, ya?" Butet menyambutku, sambil panik membawaku ke kamarnya. 


"Baaang.... Ini Mama..., kayak mau pingsaaan!" teriaknya pula menggema ke pelosok rumah.

"Ini teh manisnya, Mama," kata Butet tergopoh-gopoh membawakan segelas besar teh manis, minuman wajib bagiku sebagai penambah enerji.


"Mama, kenapa pergi sendirian? Gimana kalau pingsan di jalan? Nanti kayak dulu  dipreteli!" sesal putraku, Haekal yang baru pulang kuliah. 


Agaknya dia masih ingat, bagaimana mamanya pingsan di gerbang rumah sakit. Memang ditolong, diangkut ke UGD, tapi ada dompet, gelang dan cincin yang raib.


Aku tak menyahut, kubaringkan badan di atas ranjang, setelah mereguk habis teh manis hangat. Melihatku tak bicara apa-apa, mereka mengerti; aku lebih suka sendirian. 


Beberapa saat rehat, akhirnya kuputuskan menghubungi Asma Nadia. Uang di tangan tak seberapa, tapi kutahu aku harus beli desferal yang harga per ampulnya selangit itu.

Saat itu desferal tidak dikover ASKES.


"Oh, bisa Mbak....  Silakan ambil saja ke rumah," demikian jawaban adikku yang cantik dan baik hati itu.


Entah ke berapa kalinya dia membantuku dengan cara mendahulukan honorku dari penulis lainnya. Bahkan meskipun dananya belum turun, apabila dia sedang punya rezeki, biasanya akan ditalangi dari uang pribadi. 


Terima kasih, ya adikkku yang salehah, semoga Allah Swt memberkahimu, melipatgandakan rezekimu. Amin.


Segera kuminta Butet mengambilnya ke rumah Asma Nadia di jalan Merapi Raya.


Sementara Haekal pergi ke rumah dosennya, mau mengambil honor asistensinya.

"Buat jaga-jaga keperluan Mama."


Hari kedua; aku merasa kasihan kepada seorang anak kecil, perempuan berumur tujuh tahun, kurus sekali. Dia sesama pasien thallassemia. Kata ibunya sudah sejak hari Jumat, berarti telah lima hari menanti darah golongan O.


"Ya, sudah..., biar buat adik ini saja dulu," kataku mengalah, sungguh tak sampai hati!


Aku sudah lewat empatpuluh, sudah merasai banyak hal, keindahan dan kenikmatan dunia. Tapi anak itu, Ya Robb!

Menitik airmataku melihat perawakannnya yang sangat ringkih.


Sepertinya kalau kesenggol sedikit saja bakalan ngejengkang.

Pulang dengan tubuh semakin lemas.


Malamnya demam, mungkin karena kehujanan berturut-turut. Tapi subuhnya, aku sudah siap berangkat lagi ke RSCM. Masih sendirian. Kasihan Butet lagi banyak ujian. 


Haekal apalagi. Karena selain kuliah juga memberi asistensi. Lumayan, dia sudah punya uang saku sendiri.


"Mama, hati-hati ya.... Kalo mo pingsan... cari tempat aman aja," canda Haekal cukup meriangkan suasana, sarapan bersama. 


Tapi aku tak biasa sarapan, sekadar minum teh manis dan sepotong pisang goreng.


Hari ketiga; kali ini tak naik omprengan, karena ketinggalan. Jadi saja naik jurusan Cempaka Putih, metromini dari UKI.

Pas memasuki kawasan Cempaka Putih, banjir, air masuk ke mobil!


Macetnya sih tak seberapa, karena banyak juga polisi yang mengatur lalu-lintas. Tak terbayang kalau tak ada yang mengatur, bisa sampai malam 'kali.


Nah, lagi degdegan begitu, takut kesiangan di RSCM dan ditolak. Tiba-tiba masuklah beberapa anak STM ke dalam kendaraan.


"Cegaaat!"

"Hajaaar!"

"Tuuuh, tuuuh yang baju entuuu!"

"Dasaaar... an.... breng..., baaa..."


Sumpah-serapah,  makian tak senonoh berseliweran bersamaan dengan suara bakbuk bakbuk, heboh banget!


Otakku belum konek, masih melongo hebat. Tahu-tahu di depanku ada anak (di mataku sebaya Haekal) STM nyelonong, gedubrakan nyungsep di antara bangku. 


Sementara dari kaca jendela beberapa anak menggedor-gedor, berteriak-teriak memaki dan mengancam.


"Woooi..., keluar loe an...."

"Beraninya nyungsep deket ibu-ibu!"

"Pengecuuuut loe, an....!"


Aduh, hatiku sungguh terkesiap. Bagaimana tidak, anak-anak di luar sana sambil mengacung-acungkan gobang, clurit, golok. 


Ya Robb! Anak-anak itu mau sekolah apa perang sih? Kayaknya sudah dipersiapkan sejak di rumah, mereka akan tawuran!


"Sana, keluar... woooi! Keluaaar!" teriak beberapa penumpang, mengusir anak malang yang sudah mengkerut ketakutan di bawah jok mobil itu, tepat di depan hidungku.


“Aduh, bagaimana Anda tega membiarkan anak ini terbunuh?" seruku gemetar.


Kulihat ada seorang tentara di jok belakang. Melihat kehebohan dan kepanikan di sekitarnya, ajib sekali. Tentara itu sama sekali bergeming. Ia berlagak tak melihat, tak mendengar apapun, asyik saja mengunyah-ngunyah permen karetnya.


Ya Allahu, ke mana sumpah prajuritmu, Bung?

Kuingat bapakku tentara Siliwangi. Pernah dikeroyok selusin preman di Cililitan sampai luka parah dada dan pahanya. 


Hanya karena bapak tak tahan membiarkan seorang ibu tua dipreteli para preman Cililitan. Apakah nilai-nilai itu sudah berubah di dada prajurit, tanyaku dalam hati dan mulai bercucuran air mata.


"Sudah..., kebut saja, Piiir!" teriakku tak tahan lagi. Dalam hati aku terus-menerus berzikir, menyebut asma Allah. Memohon perlindungan-Nya.

"Iya, kebuuut kebut!" seorang ibu di belakangku mendukung, penuh semangat.


Sopir agak bimbang. Beberapa meter di depan pasti ada polisi, pikirku. Syukurlah, sopir satu pikiran denganku. 


Dia nekad melajukan kendaraannya dalam kecepatan cukup tinggi. Kebetulan jalanan mulai lengang dan air tidak mbludak lagi.


Kulihat wajah anak STM itu sudah pucat bak mayit. Dia buru-buru ngacir begitu mobil mendekati kantor polisi. 


Semua penumpang menghela napas lega.

Turun di depan PMI Pusat, langkahku sempoyongan, nyaris terjengkang.


Namun hatiku agak terhibur, hari ini setelah tiga hari menanti akhirnya dapat juga darah. Empat kantong darah golongan O, alhamdulillah.


Sejak itu, aku selalu mencermati jadwal transfusi. Jangan sampai pas bulan Ramadhan belum ditransfusi.

@@@

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama