Pipiet Senja
Dalam rentang 1974-1982, karya-karyaku berupa cerpen, artikel, novelet dan cerita bersambung banyak menghiasi majalah-majalah terbitan Selecta Group seperti; Selecta, Senang, Detektif & Romantika, Humor dan Nova. Distribusi mereka sangat bagus, konon, sampai ke Brunei, Malaysia dan Australia. Terbukti dari surat-surat yang masuk ke kotak posku.
Karena begitu mburudul-nya karyaku, berdampak juga akhirnya, aku acapkali mendapat tudingan sebagai penulis kacangan. Padahal, aku telah berusaha membuat trade-mark di setiap karyaku, meminimalisir hal-hal yang bernuansa esek-esek, sebagaimana warna yang sedang ngetrend saat itu.
Meski seolah-olah aku tak peduli dengan cap kacangan itu, toh jauh di lubuk hatiku paling dalam ada gundah-gulana. Terus terang saja ketika itu aku nyaris tak punya visi-misi yang jelas dalam dunia kepenulisan selain ladang mencari nafkah. Bagiku yang penting berkarya, berkarya dan berkarya sebelum ajal menjemput!
Sampai suatu ketika, 1983, aku menjadi pembaca setia majalah Panji Masyarakat atau Panjimas. Ayahku yang militer itu ternyata mulai nyandu mendalami buku keislaman, di antaranya majalah Panjimas.
“Coba kamu cermati cerpen dan cerbungnya. Apa betul yang seperti itu bisa disebut sastra Islami?” ujar ayahku pada kesempatan yang mulai langka, berdiskusi dengan anak-anak.
Maklum, dinasnya di Kodam Jaya tapi rumah keluarga di Cimahi. Hanya seminggu sekali kami bisa berkumpul.
Oya, ketika itu aku berdua Haekal tinggal menumpang di rumah orang tua. Statusku seorang single parent.
“Memangnya kenapa, Pak?” tanyaku ingin tahu pandangannya.
“Nah, coba yang lagi dimuat sekarang, cerbungnya La Rose. Masa iya sih karya Islami masih ada adegan syur-syurannya? Tokoh perempuannya saja masih mengumbar aurat begitu…”
Mulailah aku mencermati setiap kemunculan karya fiksi di majalah Panjimas. Betul sekali apa yang dikatakan ayahku, tak ada bedanya dengan karya fiksi di majalah lain, hanya sedikit ditempeli lambang Islam, sedikit sekali!
Hmm, kalau cuma begitu aku juga bisa, gumamku merasa tertantang. Aku harus lebih mengentalkan nuansa Islaminya, tekadku pula. Maka, mulailah aku membongkar buku-buku Islam untuk menambah wawasanku dalam proses penulisan karyaku berikutnya.
Aku pun mulai gencar mendekati anak-anak Masjid Agung Cimahi dan berdiskusi dengan mereka.
Ketika itu pula aku sempat berkenalan dengan sebuah komunitas aktivis Masjid, Azhar dan kawan-kawan. Di kemudian hari komunitas mereka, Islam Jamaah, dituding sebagai barisan Islam militan; membajak Woyla dan membom Polsek Cicendo.
Saat itu ummat Islam banyak dipojokkan, difitnah oleh penguasa Orde Baru dengan Bakin dan Benny Murdhani-nya yang getol banget mengobrak-abrik kerukunan barisan Islam.
Akhirnya!
Begitu lancar saat menulis novel Firdausi, tak sampai enam minggu telah kelar, meskipun masih dengan mesin ketik si Denok. Kukirimkan via pos, minggu berikutnya sudah ada kabar dari Azyumardi Azra, redaktur senior Panjimas bahwa naskah sudah dioke, tinggal tunggu pemuatannya bulan depan.
Minggu demi minggu, nomer demi nomer Panjimas pun terus bersambung. Siapa mengira bila kemudian Firdausi laris-manis, terbukti dengan komentar para pembaca, dan surat penggemar yang bertumpuk-tumpuk per harinya di meja kerjaku.
Salah satunya surat dari seorang awak kapal pesiar lintas samudera yang menyatakan kekaguman akan keistiqomahan tokoh sentralnya.
Tentu saja ini sangat membanggakan, selain mengucurkan honor tinggi juga mendongkrak popularitas namaku di jagad kepenulisan. Ups, konon Aki Yunus Cikunir pun mulai akrab dengan namaku melalui cerbung-cerbungku di Panjimas.
Cerbung Firdausi disusul dengan Tatkala Sebuah Gema Memanggil dan Muhibah. Semuanya bernuansakan Islami dengan tokoh sentral perempuan berbusana muslimah dan berjilbab apik. Ketiga naskah itu sama mendapat sambutan pembaca yang luar biasa dari pelosok negeri. Bagi karier kepenulisanku inilah saat-saat termanis. Sebab namaku disejajarkan dengan La Rose, Titie Said, Motinggo Boesye, Abdullah Harahap, dan penulis senior lainnya yang beda satu generasi denganku.
Suatu pagi di penghujung tahun 1984, muncul seorang gadis berjilbab lebar di teras rumah kami. Ia mengaku bernama Dinda, aktivis kampus Universitas Hasanudin, Ujung Pandang. Umurnya 19-an, tingkat dua, mahasiswi Sastra.
“Saya penggemar Mbak Pipiet Senja, boleh ketemu dia?” ujarnya santun.
“Ya, saya sendiri, silakan masuk,” ajakku tapi gadis itu hanya terpaku, memandangiku dari ujung kaki sampai kepala.
Belakangan baru kusadari bahwa itulah reaksinya mengetahui aku, si penulis idolanya, pencipta tokoh Firdausi
yang sangat tawakal dan istiqomah itu, ternyata tidak berjilbab.
Kami jalan bareng ke Jakarta, tujuanku ke redaksi majalah Panjimas saat itu masih numpang di Masjid Al-Azhar. Dinda juga ingin silaturahmi dengan aktivis Masjid Al-Azhar, sebelum melanjutkan perjalanan ke Ngawi.
Sepanjang perjalanan kulihat dia tak banyak bicara, lebih suka membilang tasbih dengan jari-jemarinya. Sementara aku membaca novel, sesekali membacakan buku untuk Haekal (3,5) yang tidak mengenal ayahnya akibat lama berpisah.
“Afwan ya Mbak,” ujarnya sesampai kami di pekarangan Masjid Al-Azhar sekitar bada zuhur. “Sebelum sholat, boleh Dinda memberi sedikit mmm…, saran? Ini sebagai tanda sayang Dinda sama Mbak Pipiet,” lanjutnya terdengar serius.
“Oh, ya, apa itu?”
“Semula Dinda membayangkan Mbak Pipiet Senja itu aktivis dakwah, berbusana muslimah. Yah, gak jauh beda dengan tokoh-tokoh perempuan di cerbung Firdausi, begitu itulah.”
“Maksud Dinda, kecewa ya?” hatiku mulai tak nyaman, perpaduan antara malu dengan risih.
Dinda tak menyahut, tapi kutahu ada binar kecewa di matanya.
“Tadi, bukannya Dinda mau beri saran?” kukibaskan perasaan risih dan malu diri yang semakin melilit hatiku.
“Iya, tapi Mbak jangan marah, janji?” Dinda menatap wajahku yang pastilah sudah pucat, sebab jarang sekali ditransfusi.
“Insya Allah, lagian aku percaya kan katanya tadi saranmu itu, sebagai tanda sayang Dinda?”
“Iya, Dinda sayang, sayang, sayang sekali sama Mbak Pipiet,” direngkuhnya bahuku, kemudian kami memasuki selasar Masjid Al-Azhar sambil berbimbingan.
Sementara itu, Haekal karena sudah mengenal lingkungan di situ, begitu sampai dia langsung mencari arena bermain di TK Al-Azhar.
Saat-saat itu takkan pernah kulupakan. Seorang akhwat bergamis hijau muda, berjilbab putih, dengan santun dan sahajanya memberiku semacam teguran halus.
Begitu halusnya hingga sama sekali tak terasa bahwa sesungguhnya di balik kehalusan, kesahajaan tutur katanya menyimpan beribu ibrah, memberi hikmah dan makna bagiku.
Intinya Dinda mengingatkanku akan kewajiban seorang muslimah untuk menutup auratnya. Ia juga mengingatkan bahwa sebaiknya seorang penulis Islami membenahi dirinya dulu dengan nilai-nilai syariat Islam. Karena bagaimana mungkin penulis bisa menyampaikan dakwahnya, pencerahannya kepada ummat, apabila dirinya sendiri tidak konsisten dengan pemahaman keislamannya?
Hal ini kembali kudengar setelah bergabung dengan FLP, melalui pembekalan dari Helvy Tiana Rosa, berbelas tahun kemudian.
Titip sayang dari gadis manis bernama Dinda itu terngiang-ngiang terus di kupingku. Bahkan telak menggedor nuraniku, harus segera menutup aurat dengan apik!
Tahun 1985, aku rujuk kembali dan memutuskan untuk menata kehidupan demi anak. Kami tinggal di rumah kontrakan milik sebuah perguruan Islam di Cibubur. Nuansa Islaminya terasa terpelihara dan cukup kental. Maka, aku pun aktif di taklim ibu-ibu, banyak belajar Islam dari para putri sang Kyai. Mulailah aku sering mengenakan gaun panjang dan kerudung. Tapi aku merasa tidak mendapat dukungan dari bapaknya Haekal.
“Aku mau berjilbab saja sejak sekarang ‘kali, ya?” ujarku suatu kali sambil lalu saat pamitan pergi mengaji.
“Berjilbab? Buat apa?” sentaknya dengan logatnya yang khas, halak hita.
“Yah, kan wajib hukumnya buat seorang muslimah. Ada tuh ayatnya di surat An-Nisa…”
“Aku tahu itu,” dengusnya dingin. “Tapi buat apa sih berjilbab kalau kelakuan masih liar?”
Aku tak mau melanjutkan berdebat omong kosong. Istri berniat baik malah melantur ke mana-mana.
Lain kali dia akan bilang; “Ngapain sih berjilbab? Ustazah bukan, guru agama juga bukan…”
“Sudahlah, jangan neko-neko, yang normal-normal sajalah!”
Atau yang lebih menukik lagi; “Berjilbab hanya untuk menutupi kebusukan, bah! Bikin berlipat-lipat saja dosanya!”
Pendeknya pertengkaran terjadi setiap kali aku menyatakan keinginan berbusana muslimah. Akhirnya aku memutuskan untuk diam-diam saja, sembunyi-sembunyi mengenakan kerudung setiap akan bepergian. Tentu saja bila bepergian bersamanya, aku dengan berat hati harus kelepas kerudung.
Jilbabku yang pertama kukenakan dengan serius adalah saat akan menghadiri manasik haji di TK-nya Haekal. Para orang tua yang ingin mendampingi anaknya memasuki areal manasik haji diwajibkan mengenakan busana serba putih. Aku memilih gaun putih tentu saja lengkap dengan kerudungnya.
Kalau kuingat lagi, itulah busana paling ribet yang pernah kukenakan. Maksudku, kerudung panjangnya yang berumbai-umbai, berenda itu loh, pemberian adikku. Mirip kerudung para perempuan mafioso yang menghadiri pemakaman, seperti sering kulihat di film-film mafia.
“Ini kerudung mahal bekas pengantinan,” kata adikku En menyerahkan selendang panjang hutam berenda-renda, sekilas memang tampak indah.
Karena acaranya mendadak, tak ada waktu lagi, terutama tak ada uangnya, akhirnya kukenakan juga kerudung aneh-nyeleneh itu.
Sepanjang prosesi manasik haji itu berlangsung, penampilanku lumayan mendapat lirikan aneh. Belum lagi repotnya, setiap saat kakiku nyaris keserimpet ujung rumbai kerudung. Aku harus sering memperbaiki letaknya di rambutku. Kalau tidak rambutku akan tetap kelihatan, kawar-kiwir.
Iiih, pendeknya riiii-beeet aja!
Namun, bagaimanapun itulah pertama kalinya aku mengenakan busana muslimah dengan leluasa. Karena kali ini suami sama sekali tak bisa protes. Mungkin pikirnya, yah, daripada si Haekal di lapangan yang penuh sesak ratusan anak TK se-Jakarta Timur, terinjak-injak, nyasar…. Lebih baik didampingi ibunya.
Bila kukenang kembali, begitu banyak peristiwa yang berkaitan dengan jilbab dan keputusanku menutup aurat itu.
Adalah heboh jilbab beracun, saat menyukai jilbab berwarna hitam, saat di tengah-tengah paguyuban sastrawati Sunda hanya sorangan wae berjilbab, saat di tengah komunitas musawarah burung juga sendirian berjilbab, dan terpaksa nonton film pendek esek-esek.
Aku takkan pernah lupa kepada sosok itu, akhwat bergamis hijau dengan jilbab putihnya. Dinda, apa kabarmu? Ingin kuseru namamu berulang kali, sebagai tanda terima kasih. Karena telah mengingatkanku agar berhijab.
@@@
Posting Komentar