Dulu Disuruh Beralih Kini Sulit Ngalih


Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

Di negeri ini, aturan datang seperti titah raja. Dulu, pemerintah berkata, "Jangan pakai minyak tanah! Beralihlah ke LPG!" Maka rakyat menurut. Mereka mengganti kompor, menyesuaikan dapur, mengubah kebiasaan. Kayu bakar ditinggalkan, minyak tanah dilupakan, dan gas menjadi satu-satunya jalan.

Setelah rakyat setia pada perintah, gas justru langka. Masyarakat sulit ngalih (mencari). Antrean mengular di pangkalan, tabung melon bagai harta karun yang sulit ditemukan. 

Tidak ada gas, tidak ada api, tidak ada masakan.

Mau kembali ke minyak tanah, tapi di mana mencarinya? Kompor minyak sudah lama hilang dari pasaran. Mau beralih ke kayu bakar, tungku sudah lenyap dari dapur-dapur kota. Mau tidak mau, mereka tetap mengantre.

Yang lebih ironis, kelangkaan ini tak hanya menyusahkan ibu-ibu rumah tangga, tapi juga para pedagang. Warung nasi, kaki lima, restoran kecil—lumpuh. Tak ada gas, tak ada makanan. Rakyat tak bisa memasak di rumah, tak bisa pula membeli di luar.

Negeri ini menjadi tanah kelaparan, bukan karena tak ada bahan makanan, melainkan karena tak ada api untuk memasaknya.

Sungguh paradoks. Dahulu, orang-orang tak bisa masak karena tak ada yang dimasak. Beras langka, ubi sulit, jagung mahal. Dengan pakaian kumal, mereka antre demi segenggam beras atau sebungkus mie. Kini, pangan melimpah. Beras tersedia, lauk beraneka, sayur segar ada. Tapi tetap saja, mereka harus antre—bukan untuk bahan makanan, melainkan untuk alat memasaknya.

Bedanya, antrean sekarang lebih rapi, lebih modern. Mereka tak lagi berpakaian lusuh, tapi mengenakan busana modis. Mereka datang dengan sepeda motor, bahkan ada yang diantar mobil, cekrak-cekrek tapi tetap, mereka mengantre.

Apa yang terjadi di negeri ini? Jika sejak awal rakyat dibiarkan menggunakan apa yang mereka punya—minyak tanah, kayu bakar—mungkin antrean ini tak perlu ada. Pemerintah yang dulu memerintahkan rakyat beralih ke gas, kini pula yang mempersulit mereka mendapatkan gas.

Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah ada permainan di balik kelangkaan ini?

Bisnis gelap selalu mengintai subsidi. Gas subsidi yang seharusnya untuk rakyat kecil, diduga berpindah ke tabung nonsubsidi. Hanya menggeser isi, hanya mengganti warna tabung, tapi keuntungan yang didapat bisa berlipat-lipat. Tapi itu bukan keuntungan, itu pencurian—karena yang diambil subsidi, hak rakyat kecil.

Siapa yang bermain dalam permainan ini? Apakah mereka tidak tahu ke mana seharusnya subsidi diberikan? Ataukah justru mereka tahu, tapi sengaja membiarkannya karena ada utpeti?

Dan di tengah antrean yang semakin panjang, rakyat hanya bisa bertanya-tanya: Apakah negeri ini benar-benar ingin melihat rakyatnya hidup nyaman? Ataukah mereka hanya bidak dalam permainan penguasa pengusaha yang tak pernah rakyat pahami?

Denpasar, 4 Februari 2025

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama