Ciloteh "Catuih Ambuih"
Bgd Ishak.SH.MH
Menyikapi Tagar "Indonesia Gelap"
Aksi demonstrasi bertajuk "Indonesia Gelap" yang melibatkan mahasiswa dan civil society di berbagai daerah, terutama di Jakarta, merupakan bentuk kepedulian terhadap arah kebijakan pemerintah yang dianggap kurang berpihak kepada rakyat. Demonstrasi ini bukan sekadar ekspresi kemarahan, melainkan refleksi dari kondisi sosial-politik yang dinilai semakin menyimpang dari prinsip keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
13 Tuntutan Mahasiswa
Mahasiswa yang turun ke jalan membawa 13 tuntutan utama yang mencerminkan berbagai permasalahan mendasar dalam tata kelola pemerintahan:
1. Pencabutan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 yang dianggap mengarah pada pemangkasan anggaran sektor vital.
2. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan utang negara untuk memastikan tidak membebani generasi mendatang.
3. Peninjauan ulang UU Minerba, terutama terkait eksploitasi sumber daya alam dan perampasan aset masyarakat.
4. Penghentian kriminalisasi dan intimidasi terhadap aktivis dan masyarakat sipil.
5. Peningkatan anggaran pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin.
6. Evaluasi terhadap kebijakan fiskal yang dinilai tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat.
7. Pengurangan birokrasi yang membengkak agar kebijakan efisiensi anggaran lebih sejalan dengan realitas.
8. Penyediaan lapangan kerja yang memadai, alih-alih hanya memberikan bantuan sosial jangka pendek.
9. Penghentian keterlibatan militer dalam urusan sipil guna menjaga profesionalisme institusi keamanan.
10. Penyediaan subsidi energi yang tepat sasaran, sehingga manfaatnya dirasakan oleh masyarakat kelas bawah.
11. Peningkatan layanan kesehatan yang lebih merata, terutama bagi masyarakat di daerah terpencil.
12. Penguatan demokrasi dan penegakan hukum yang independen.
13. Pendidikan gratis dan berkualitas bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mencerdaskan bangsa.
Protes dan Esensi Perdamaian
Secara keseluruhan, tuntutan mahasiswa bukanlah sekadar kritik, tetapi refleksi dari krisis multidimensi yang tengah dihadapi. Seperti yang dikatakan oleh John Lewis, aktivis hak sipil, "Protes bukanlah gangguan terhadap perdamaian, tetapi ketidakadilan, korupsi, dan intimidasilah yang merusak perdamaian." Oleh karena itu, gerakan mahasiswa ini harus dilihat sebagai upaya untuk mengawal pemerintahan agar tetap berada di jalur konstitusional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterakan rakyat.
Paradoks Kebijakan Fiskal dan Efisiensi
Salah satu ironi yang mencuat adalah kebijakan refocusing dan efisiensi anggaran yang seharusnya memangkas belanja yang tidak produktif. Namun, pada kenyataannya, struktur kementerian dan perangkat birokrasi justru semakin membesar, menimbulkan ketidaksesuaian antara narasi penghematan dan implementasi di lapangan. Kondisi ini mencerminkan ketidakseimbangan dalam prioritas pemerintah, di mana efisiensi dijadikan dalih sementara pengeluaran birokrasi tetap membengkak.
Selain itu, belum ada kebijakan konkret dalam menyelesaikan permasalahan utang negara. Refocusing anggaran lebih cenderung bersifat jangka pendek tanpa strategi komprehensif dalam meningkatkan penerimaan negara melalui inovasi ekonomi dan perbaikan tata kelola pajak.
Meninjau Ulang Prioritas Anggaran: Antara Makan Gratis dan Lapangan Kerja
Politikus Dedy Sitorus menyoroti bahwa program makan gratis adalah inisiatif yang baik, tetapi lebih penting adalah menciptakan lapangan pekerjaan agar masyarakat dapat mandiri dan memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Bantuan sosial seperti makan gratis seharusnya ditujukan secara spesifik kepada mereka yang benar-benar membutuhkan, seperti masyarakat miskin perkotaan, nelayan tradisional, dan kelompok rentan lainnya.
Ekonom senior Faisal Basri (alm ) juga menekankan bahwa bantuan sosial yang tidak didukung oleh peningkatan produktivitas hanya akan menciptakan ketergantungan. Solusi terbaik adalah kebijakan yang memberdayakan masyarakat, bukan sekadar memberikan bantuan sementara yang sifatnya populis. Ia menegaskan bahwa investasi dalam pendidikan dan infrastruktur ekonomi jauh lebih efektif dalam mengentaskan kemiskinan dibanding sekadar bantuan konsumtif.
Dari Gelap Gulita atau Terbitlah Terang?
Menjawab pertanyaan apakah tagar "Indonesia Gelap" akan berujung pada kegelapan yang lebih pekat atau menjadi awal dari kebangkitan, jawabannya bergantung pada bagaimana pemerintah merespons kritik dan tuntutan rakyat. Pemerintahan yang baru berjalan seratus hari ini tentu masih memiliki waktu untuk membuktikan komitmennya dalam menjalankan amanat konstitusi: mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterakan rakyat.
Namun, demi kebaikan negara, mencegah lebih baik daripada mengobati. Oleh karena itu, masyarakat harus terus mengawal dan mengingatkan pemerintah agar tetap berada di jalur yang benar. Dengan kritik yang konstruktif dan aksi yang berbasis kepentingan publik, dari gelap ini, kita berharap akan lahir sebuah terang yang membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Padang, 21 Februari 2025.
Posting Komentar