Biarkan Orang Ngomong, Anakku



Pipiet Senja 

Harus kuakui bahwa ada perbedaan yang cukup signifikan, terutama di masa balita, dalam membesarkan sepasang bintang yang kumiliki. Ini kaitannya dengan keberadaan sosok seorang ayah.

Haekal menghabiskan masa balitanya secara total dengan diriku, tanpa kehadiran figur ayah. Selama dua tahun kami tinggal di Cimahi. Setahun pula kami berdua tinggal di rumah sewa milik Ustad Fahri Al Ma’ruf. Hingga ayahnya minta rujuk dan kami kembali bersama, berusaha menata kehidupan baru lagi.

Butet setiap saat bisa melihat keberadaan ayah, dan mengenal figur Papa sejak bayi. Bila sedang tak ada pekerjaan di kantor, ayahnya mau juga menemani Butet bermain-main di pekarangan. Sementara aku sibuk menulis atau mengerjakan pekerjaan rumah.

Aku tak pernah punya seorang pembantu, sejak Haekal nyaris tertabrak mobil karena kelalaian pembantu kami.

Acapkali aku menyaksi ayahnya mengapung-apungkan tubuh mungil Butet ke atas, kemudian ditangkap dengan tangan-tangan kokohnya, kudengar teriakan-teriakan senang dan celoteh bahagia dari mulut putriku. 

Kulihat pula bagaimana senangnya Butet jika sudah dinaikkan ayahnya ke pohon jambu di pekarangan, didudukkan di salah satu batangnya. 

Kaki-kakinya yang mungil akan berayun-ayun, mulutnya pun berceloteh tentang ini dan itu, ditanggapi oleh ayahnya dengan komentar yang membuatnya tergelak-gelak.

Biasanya kulihat pula Haekal dari jendela kamarnya memerhatikan ayah dan adiknya sekilas. Kemudian dia kembali sibuk belajar atau asyik membaca buku bacaannya. 

Aneh sekali, pikirku, kelihatannya tak ada rasa cemburu atau iri Haekal akan perlakuan manis sang ayah terhadap adiknya. 

Tidak, dan kemudian kutahu penyebabnya; Haekal tak pernah dekat dengan ayahnya sejak kecil.

Ketika Butet sudah duduk di bangku SD, aku pun bisa meminta bantuannya untuk pergi ke warung Bude. Butet mengambil alih tugas abangnya yang telah duduk di bangku SMA, bolak-balik ke warung, baik untuk beli sesuatu yang terlupa saat aku belanja maupun untuk meloakkan koran bekas.

Suatu kali kudapati Butet menangis sesenggukan di sudut teras.

“Kenapa, Nak, kok nangis gak ajak-ajak?” kataku mencoba menggodanya.

“Sekarang Butet gak punya teman lagi, Ma…”

“Kenapa memangnya, teman-temanmu gak mau main ke sini?”

“Iya, tadi waktu Butet ke rumah Nenk, hm, ibunya bilang; jangan maen di rumah Butet, itu mah sarang penyakit. Ibunya Butet itu kan punya penyakit kutukan, katanya. Nanti menular, nanti ikutan dikutuk… Hikkksss!”

Ya Allah, mengapa ada orang seperti ibu si Nenk itu, ya? Dia memang sudah terkenal tukang penyebar gosip, biang keributan antar ibu-ibu di kampung Cikumpa. Apa salahku kepadanya sampai begitu tinggi kadar kebenciannya terhadapku dan anakku?

“Ya sudah, sekarang Butet main di rumah saja dengan Mama, ya Nak?” bujukku sambil menghampar tikar di lantai, mengangkut kotak buku bacaan dan mainannya. 

Sesungguhnya lebih banyak buku cerita yang dimilikinya daripada boneka atau mainan lainnya. Lama kelamaan Butet pun lebih menyukai buku bacaan daripada mainan, kecuali puzle-puzle favoritnya yang masih dikoleksi.

“Kita buktikan saja kepada mereka, ya Nak, bahwa kita bisa berprestasi, meskipun kamu punya ibu penyakitan…”

“Iya Mama, tapi Mama bukan dikutuk kan?”

“Pssst, tak ada penyakit kutukan!”

Beberapa saat lamanya Butet nyaris tak peduli lagi apakah dirinya punya teman atau tidak di sekitar rumahnya. Sampai teman-temannya, termasuk si Nenk itu, bermain kembali ke rumah. Mereka ingin ikut menikmati koleksi buku bacaan Butet agaknya. 

Butet boleh bangga, hanya dialah yang memiliki koleksi buku sekeren dan sebanyak itu di kampungnya.

Kutahu Butet disayang para guru dan disukai teman-temannya di sekolah. Peringkatnya tak pernah bergeser dari tiga besar. Sejak kelas tiga SD, Butet pun sudah kumasukkan les bahasa Inggris. 

Tiba-tiba sore itu, dia berlari-lari pulang dari Masjid Baiturahman, air matanya bercucuran hebat. Ketika itu Butet sudah kelas lima, dan diam-diam suka menulis di catatan hariannya.

“Nah, nah, sekarang ada apalagi dengan putri Mama?” Kukembangkan kedua tangan, Butet langsung menyurukkan kepalanya ke dadaku, melanjutkan tangisnya sampai puas.

“Tadi itu,” dia mulai mengadukan ikhwalnya. “Bu Cucum, guru ngaji Butet itu, menanyai cita-cita anak-anak, mau lanjutin sekolah ke mana? Nah, pas giliran nanya ke Butet, ya dijawab saja; Butet kan mau lanjutin ke SMPN 3 begitu. Ya gak salah, kan Ma? Eh, dia bilang gini, Ma. Alaaah, anak bodoh macam kamu mah palingan juga ke SMP PGRI! Ke Yapemri mah mahal, orang tua kamu pasti gak mampu! SMPN 3 kata kamu tadi? Jangan ngimpi deh!”

Astaghfirullah, ada pula guru mengaji macam itu? Butet bukan bodoh kalau kurang mahir menulis huruf Arab, atau belum lancar membaca juzamma. Jadwal mengajinya sering bentrok dengan les-lesnya.

“Mana ngomongnya di depan anak-anak lagi, Ma. Trus, anak-anak ketawa, Ma. Mereka ngetawain dan ngehina Butet, Ma. Pulangnya juga begitu, anak-anak ngatain; Butet bodoh, Butet tukang ngimpiii! Pake ada yang ngejenggutin rambut Butet lagi, hikksss….”

Kalau memerturutkan emosi, kepingin saja rasanya kulabrak ibu guru yang merasa dirinya paling hebat sedunia itu. Tapi aku bukan tipe ibu-ibu yang hobi labrak-melabrak. Setelah diskusi dengan bapaknya, kutarik Butet dari pengajian anak-anak di Masjid Baiturahman. Kudatangkan seorang akhwat untuk mengajarinya mengaji di rumah tiga kali seminggu.

“Mendingan Butet tulis cerita ini di buku harianmu, ya? Coba deh, dadamu akan lega rasanya kalau sudah ditumpahkan dalam tulisan,” saranku kemudian.

“Iya yah, Ma. Butet nanti macam Mama jadi pengarang,” sahutnya sambil menghapus air matanya.

“Amiiiiin!” sambutku takzim.

“Jadi… Bagaimana nih Butet sekarang, jangan dengerin omongan orang begitu?”

“Iya, jangan dengerin omongan ngaco. Itu saja!”

Sekali pernah jumpa dengan Bu Cucum di pengajian ibu-ibu Masjid Baiturahman.

Saat itu Butet telah diterima di SMPN 3, sekolah favorit di Depok yang banyak menginspirasi serial ABG-nya. Dia menyabet NEM tertinggi di SDN Cipayung. Aku sengaja bicara agak keras kepada ibu-ibu di sebelahku, bahwa anakku Butet terpaksa kukeluarkan dari pengajian, karena guru mengajinya ngomong tak pantas.

“Siapa guru ngajinya, Bu?”

“Memang ada berapa guru mengaji anak-anak sekarang di sini?” balik aku bertanya. 

Kutahu persis, saat itu hanya Bu Cucum yang mengajar di situ.

“Dia gak tahu ‘kali, Bu. Kalau Butet itu anaknya Pipiet Senja, seorang pengarang…”

“Ya Allah, Bu, jangan bilang begitu,” tukasku jengah sekali. “Anak siapa pun itu, kita tidak perlu menghina dan merendahkan harga dirinya. Itu tidak pantas dikatakan seorang guru, eh, guru mengaji pula!”

“Lagi suteres ‘kali gurunya…”

“Buktinya Butet sekarang sekolah di SMPN 3, ya Bu?”

“Gak ada satu pun anak-anak seangkatannya di sini yang diterima di sekolah favorit itu, Bu,” berkata seorang ibu.

“Oh, begitu ya Bu?” kuhela napas panjang, ada sebersit bangga dalam dada, tersimpan jauh di lubuk hati.

Entah terdengar oleh Bu Cucum atau tidak, tapi sejak itu setiap kami berpapasan di jalan, kalau bukan dia yang melengos tentu aku yang berpura-pura tidak melihatnya.

Ketika Butet lulus S1 FHUI, sebagai rasa bersyukur aku berbagi dengan anak yatim melalui Masjid.

Ada SMS tak dikenal  sbb:

"Bu Haji, bisa bantu anak saya agar diterima di UI? Kira-kira berapa yang dibutuhkan?"

"Maaf, ini dari mana, ya?"

"Dari guru ngaji Butet dulu...." 

Astaghfirullahal adhim, segitunya dia suuzon atas keberhasilan anakku!

@@@

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama