Maaf masih yang lama
Pipiet Senja
Anno, Sumedang 1960
Sepanjang malam takbiran itu, aku yang masih Balita, terserang sesak napas.
Ashmaku kumat dengan bunyi: ngik ngik ngik. Di kupingku sungguh terdengar menyebalkan sekali!
“Besok pagi sekali kita bawa saja ke rumah sakit,” ujar Bapak, prajurit Siliwangi.
“Apanan Lebaran atuh, Pak. Batur Lebaran maenya urang kalah ka ngangkut budak ka rumah sakit?”
Terdengar nada protes Emak yang belum lama melahirkan anak ketiga; Evi Mariani.
“Ya biar sajalah, memang harus bagaimana lagi? Kasihan sudah 3 malam bengeknya gak sembuh-sembuh,” kata ayahku, seraya membetulkan letak botol hangat di bagian dadaku.
Memang benar, tiga malam itu harus terbiasa dengan bunyi: ngik ngok ngiiiik!
Kadang aku tak tahan dan menangis keras. Air mataku bersimbah, sambil meracau tak karuan.
“Capeèeek, Maaak, capeeeek Bapaaaak…. Teteh mah hayang paeh weee!”
Sekitar 4 tahun umurku, sudah ikutan sepupu Ai, masuk TK Kartika Chandra. Sudah mulai paham apa itu; paeh alias mati.
Aku pernah menyaksikan Aki, kakekku, detik-detik melepaskan nyawanya. Sama sesak napas, Ngik ngok ngik ngok, cekleuk saja henti bernapas.
Wajahnya begitu tenang, adem, seleret senyum menghias bibir anti nikotin. Takkan kulupakan saat itu, akulah satu-satunya Balita yang menyaksikan kepergian Aki Wiraharja.
Ya, setiap kali diriku berada pada kondisi gawat darurat, niscaya kenangan menyaksikan kakekku meninggal akan melintas di benakku.
Bahkan berpuluh tahun kemudian. Terakhir setahun silam, saat menemukan tubuhku terkapar tak berdaya di ICU RSPAD. Pasca operasi lumbal: osteperosis, saraf kejepit. Operasi pasang pen.
“Ya Robb, biarkan hamba-Mu yang lemah ini menghadap-Mu dengan senyum bahagia. Seperti Aki dulu, matikanlah hamba dalam husnul khotimah, ya Robbana,” demikian yang tercetus di dalam hatiku.
Sakitnya bekas operasi tulang punggung, dipasangi pen: dahsyat!
Terasa menghajar setiap saraf di otakku. Bagaikan gila rasanya menahan rasa nyeri, luar biasa.
“Kita beri morfin, ya Bu?” Seorang dokter muda menghampiri.
Mendengar istilah morfin begitu, otakku seketika terkenang kembali pasca operasi limpa dan kandung empedu, 2009.
Persis bulan Ramadhan. Ketika itu aku sempat dinyatakan koma lima hari. Nah, saat itu aku sukses keluar dari ICU. Apakah sekarang harus menyerah? Oh, tidaaak!
“Jangan beri morfin, Dok,” pintaku tegas.”Injeksi anti nyeri saja, ya Dok, pliiiisss….”
"Tapi hanya sebentar gak nyerinya."
"Biar sajalah, Dok. Akan saya nikmati nyerinya, mungkin memang banyak dosa saya...."
Ya, konsumsi morfin bagaimana kalau kecanduan? Nenek-nenek penyintas Thallasemia, kecanduan narkoba? Sungguh konyol!
“Baiklah kalau begitu,” sahutnya, kemudian jeeeès saja. Aku pun tertidur.
Kini, di rumah putriku ditemani adikku Rosie dan dua anaknya. Ada Butet, suaminya dan Athena.
Sayup-sayup gema takbir mulai terdengar. Sungguh Engkau begitu Maha Pengasih, ya Robb.
Tiga kali lolos dari situasi kondisi sangat darurat. Bagaikan hendak berjabat tangan dengan Malaikat Maut.
Aku yakin, niscaya Dia punya skenario-Nya untuk makhluk satu ini.
Ya Allah, masih banyak janji yang belum hamba tepati. Masih banyak bekal untuk pulang ke kampung akhirat yang belum kumiliki.
Gema Takbir masih terdengar. Aku bangkit dari kursi depan laptop. Saatnya berkemas untuk berangkat ke lapangan; sholat Ied.
Mei mendatang 69 tahun umurku. Alhamdulillah, terima kasih ya Robbana.... sungguh wajib disyukuri.
Konon aku penyintas Thallasemia tertua di Indonesia, transfusi sejak umur 9 tahun.
Depok, 1446 Hijriyqh
Posting Komentar