Romansa Dua Hati: Tak Bertaut


Pipiet Senja 

Pesawat Qatar Airways yang membawa Maryam dari Jakarta akhirnya menukik, menyemburkan dengung di kuping. Sehingga suara-suara di sekitarnya samar-samar dan nyaris tak bermakna. Namun, ada yang bergemuruh dalam dada ini, gumamnya membatin. 

Tak ubahnya gemuruh massa di Monas, menyuarakan Bela Palestina. Protes keras atas kekejaman zionis terhadap bangsa Palestina.

“Jangan datang ke Mesir saat ini, wahai Maryam. Sungguh sangat tidak aman bagi dirimu yang sedang sakit begitu,” terngiang kembali suara Abu Fattah melalui ponsel.

Kecemasannya terdengar melebihi segala kengerian yang ditimpakan zionis terhadap dirinya dan pasukannya.

“Tidak ada waktu lagi,  Abu Fattah

Kau tahu, lima dokter ahli yang kukunjungi seolah sepakat telah mengetahui masaku hampir habis,” kilah Maryam gemetar, sesaat terbebas dari dengung bunyi mesin perekam jantung ruangan ICCU. Berbulan itu, keberadaannya nyaris selalu sendirian. Tiga anak yang telah dewasa dan mandiri semuanya berada di Eropa. 

Sementara lelaki yang pernah menjadi imamnya telah lama pula pergi, meninggalkannya dalam keadaan sakit. Ia memilih mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri. “Tinggallah bersama kami, Mama,” ajak sulungnya, Salma yang tengah S3 bersama suaminya di Perancis. 

“Kami selalu siap menemani hari-hari Mama,” pesan Nadia, putri kedua yang bersuamikan mualaf Belanda. Mereka tinggal di Holland. “Kapan Mama siap kami jemput?” tanya Qania, si bungsu, tinggal di Inggris bersama suaminya, seorang WNI pebisnis properti. 

“Tidak, anak-anak sayang, terima kasih. Mama hanya akan mampir sekali-sekali. Tetapi tetap memilih tinggal di Tanah Air, di sinilah tempat Mama,” kilahnya tanpa perlu menyebut alasan lain. 

Sejujurnya sebagai seorang seniman Indonesia, Diah tak pernah merasa kerasan berlama-lama tinggal di negeri orang. Demikian yang dirasainya setiap kali dirinya berkelana dengan buku ke berbagai negara. Paling lama ia mampu tinggal selama sebulan di Hong Kong dan Taiwan. 

Dua negara favoritnya, karena di sanalah dirinya merasa benar-benar dibutuhkan, dihargai dan bermanfaat bagi kaum Buruh Migran Indonesia. Lima tahun terakhir, ia begitu gencar meneror para PMI atau TKI agar merekam jejak mereka. Tak pernah jemu, tak pernah lelahnya, sehingga ia dijuluki sebagai emaknya TKW.

Beberapa bulan menjelang perang Israel-Palestina, ada satu nickname yang masuk secara tiba-tiba ke bilik Gtalk atas namanya, dinihari itu.

“Assalamu alaikum, boleh silaturahim, wahai Maryam? Aku kenal namamu melalui website atas namamu. Aku mencermati semua postinganmu, termasuk foto-foto dan video kegiatanmu,” demikian sapa pertama yang berlanjut dengan sapaan-sapaan berikutnya.

“Aku boleh jujur kepadamu, ya Abu Fattah?” kata Maryam melalui chatt online Skype. “Apa selama ini engkau tidak jujur, wahai Maryam?" balas Abu Fattah.

“Semuanya sudah jujur kecuali satu hal saja bahwa aku tidak pandai menulis dalam bahasa Inggris,” ujar Maryam tanpa sembala.

“Tidak mengapa, bukan masalah. Sekarang aku mulai pandai bahasa Indonesia. Ada temanku, anak Al Azhar si Ahwazi yang rajin sekali mengajariku bahasa Indonesia.” 

“Oh, syukurlah,” kata Maryam merasa lega. “Sekarang giliranku. Bolehkah aku berjujur-jujur kepadamu?” 

“Apa selama ini engkau tidak jujur, wahai Abu Fattah?”

“Uumm, itulah, itulah…. Bahwa aku seorang duda yang ditinggal istri ketika melahirkan anak kedua. Bahwa aku memiliki seorang putri, sudah remaja. Dialah, Fattiyah yang menunjukkan website pribadimu kepadaku.” “Baik, ada lagikah yang engkau sembunyikan dariku?” 

“Aku seorang pejuang, uumm, boleh dibilang prajurit  perang. Sesungguhnya kami barisan Hamas, Maryam."

“Baik, tidak mengapa, dan aku bangga mendengarya. Ada lagikah?” 

“Umm, masih, tetapi pentingkah itu buatmu, wahai Maryam?"

“Oh, jika engkau tak berkenan, biarkanlah begitu saja.” Hanya sampai di situ pembahasan identitas. 

Selanjutnya lebih banyak diskusi tentang berbagai hal, termasuk politik dan situasi kondisi Palestina saat itu. Maryam memutuskan untuk memungkasnya, ya, persahabatan tidak perlu pemaksaan.

Jika Abu Fattah ingin menyembunyikan beberapa hal tentang identitasnya, biarkanlah demikian, pikirnya. 

Lagipula, siapa mengira jika hubungan ini akan menjadi serius dan berkembang ke arah lain? Ketika perang akhirnya terjadi juga, hubungan mereka sempat terputus.

Maryam hanya bisa berdoa dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Hingga suatu saat nickname itu kembali muncul di layar laptopnya. Semuanya telah berubah, lapor Abu Fattah.

Dia memejamkan mata, membayangkan seraut wajah tampan dengan hidung mancung, sepasang mata elang dan bibir anti nikotin.

Perawakannya tinggi tegap, atletis, sebagaimana galibnya lelaki bangsanya. Bahkan baru melihatnya melalui layar monitor saja, telah ada getar-getar ajaib yang menggejolak dalam dadanya.

"Madame, silakan, Anda yang terakhir turun,” seorang pramugari berwajah khas perempuan Arab, menyentakkan dirinya dari seluruh khayalnya. 

“Oya, syukron, maaf,” kata Maryam bergegas bangkit, meraih tas kecilnya dan berlalu dengan wajah tersipu-sipu. Persis seorang anak perawan yang dipergoki ibunya sedang melamunkan cinta pertamanya. 

"Ini apa masalahnya, ya Nak?” 

Maryam menunjukkan selembar kertas scan kiriman Abu Fattah kepada pelajar Gontor yang satu pesawat. Tiket, visa calling dan akomodasi semuanya saja sudah diurus, demi pertemuan ini, begitu menurut Abu Fattah saat terakhir berkomunikasi via telepon. 

"Harus beli visa masuk seperti kami, Ummi.” Anak muda itu menunjukkan paspornya yang telah disertakan visa calling.

Maryam keluar antrian dan bergegas menuju konter money changer.

Visa sudah dibeli, paspornya dicap, dan ia telah pula diperbolehkan keluar dari kawasan Imigrasi, tatkala tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk melalui Whats App.

“Ahlan wa sahlan, wahai Maryam.

Afwan, ternyata aku tidak bisa menjemputmu. Kami baru saja mengalami ujian. Israel memborbardir Gaza.

Namun, Jangan khawatir ada Fattiyah menantimu di pintu kedatangan.”

Seketika Maryam merasai ada sayatan luka jauh di ujung kalbunya, serasa separuh nyawa sekejap terbang, mencari sosok dambaan. Ada firasat tak nyaman yang mencengkeram hatinya. 

“Open! Opeeen! Very hard, what’s is this?” sergah seorang petugas, ketika ia baru saja dua-tiga langkah hendak mencapai pintu kedatangan. 

Lelaki itu menjegal langkahnya, memukuli koper besar miliknya.

"Book, only books.” Maryam mencoba menjelaskan.

Petugas tetap bersikukuh memerintahkan agar membuka kopernya. Maryam tergagap, sampai lupa dimana dirinya menaruh kuncinya.

Sesungguhnya ini bukan pertama kalinya terjadi. 

Pada dua kali kunjungan ke Kairo sebelumnya pun pernah mengalami hal serupa.

Diperintahkan membongkar bawaannya. 

Ketika itu ia bersama rombongan, ada seorang rekan sastrawan dan jurnalis bersamanya. Kepercayaan dirinya kuat tersebab berjuluk Duta Budaya Indonesia.

Sedangkan saat ini ia hanya seorang diri dan bukan undangan resmi untuk seminar kepenulisan. Ini urusan pribadi, terlalu nekad pula untuk datang ke negeri yang sedang bergolak. 

Qania, mengingatkannya berkali-kali. 

“Mama, untuk apa pergi ke Palestina via Mesir segala? Itu negara sedang bergolak. Boleh jadi akan terjadi perang hebat!” 

Namun Salma mendukung apapun pilihannya. 

“Pergilah dan temui dia, jika itu memang akan membahagiakan hari-hari Mama. Semangat, ya, Mama cintaku. Salam sayang dari tiga cucu Mama, mhua!” 

"Buka! Apakah kamu tuli, Mom?” bentak petugas membuyarkan sebagian impian dan asa yang dimilikinya. “Baiklah, hmm, ini dia kuncinya!” Bagaikan seorang nenek linglung, perempuan paro baya itu bersegera membuka kopernya.

”Ini suvenir untuk sahabatku. Saya seniman, penulis dari Indonesia,” jelasnya tanpa diminta, tetapi cukuplah membuat petugas itu terpuaskan. 

“Oke, go!” titahnya tanpa basa-basi. 

Pagi baru saja menguak langit negeri para Anbiya. Ia mendorong koper keluar dari pintu kedatangan. Matanya mencari-cari sosok dara yang hanya dikenalnya melalui Skype. Tiada seorang pun yang dikenalnya, semuanya asing belaka. 

Sedetik ia menanti, detik berikutnya sosok bergaun indah, selendang biru berkelebat menghampirinya. 

"Ummi Maryam, ya?” sapanya dalam nada lembut mendesir di kupingnya.

"Ya, siapa nanda?"

"Aku putrinya Abu Fattah. Mari, ikuti kami.” 

Yang dimaksud kami adalah dua orang lelaki berperawakan tinggi tegap, berpakaian sederhana sebagaimana layaknya orang biasa.

Nalurinya membisikkan bahwa dalam kebersahajaan, tersembunyi kekuatan dan semangat jihad maha dahsyat. Potret mujahid sejati! 

"Afwan, berkenan saling dulu busana Ummi, ya," pinta dara cantik itu seraya menggandengnya ke arah kloset 

Tanpa banyak tanya ia menurut. Gegas mengganti busananya dengan gaun panjang, selendang perpaduan warna biru dan putih. 

Oh, nuansa bendera Israel!

Maryam bergerak dalam langkah gegas, tanpa bicara, tanpa komentar apalagi salam perjumpaan seperti layaknya orang yang baru bertemu. 

Sosok tinggi ramping, jelita yang mengaku putri Abu Fattah menggenggam tangannya erat-erat.

“Siapa mereka?” Maryam mendesiskan keterkejutannya.

"Tentara zionis siap membantai rakyat Palestina," bisik Fattiyah.

"Mereka membiarkan kita?" Maryam belum paham.

"Kita menyamar warga Israel...."

"Ooooh, iya, ya!"

Maryam baru menyadari kembali, busana yang dikenakannya kini khas Israel.

“Lekas masuk, Ummi,” gumam salah seorang pengawal.

Suasananya mendadak terasa gawat darurat. Panser kian berseliweran di mana-mana, tentara berseragam warna pasir gurun pun siaga dengan senjata berat di tangan. Landrover jelek, entah buatan tahun kapan, berusaha keras menyelip di antara kendaraan keluar dari Bandara Maktour.

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, jalanan Kairo diwarnai dengan kendaraan butut. Hampir tak ada satu pun kendaraan yang tampak bagus, apalagi mengkilat tanpa goresan. Kebanyakan mobil yang melintas diwarnai mulai dari goresan, baret, penyok hingga tak berjendela di salah satu sisinya. 

Sebuah mobil sedan kuno seketika menyalip kencang, tampaklah tiga anak duduk di bagian bagasi yang terbuka lebar.

“Astaghfirullah!” seru Maryam tertahan di tenggorokan. Tak ada urusan tilang, tak ada lampu merah dan tanda-tanda lalu-lintas apapun di penjuru jalanan kota tertua di Afrika ini. 

“Di mana ayahmu, Nak?” tanya Maryam, sungguh tak tahan lagi dalam belenggu misteri dan teka-teki. Seperti apakah gerangan sosok itu dalam kenyataan? 

“Nanti kita akan bertemu dengan Abi di Raffa,” sahut FattiyĆ h, seketika melepas cadarnya, sehingga tampaklah keelokan parasnya yang menawan.

 “Subhanallah, kamu sungguh jelita, Nak. Boleh aku memelukmu?” 

Tak perlu menanti jawabannya, Maryam bisa menangkap bernas kerinduan menggantung di sudut-sudut mata remaja putri itu.

Untuk beberapa jenak keduanya saling melepas rindu, seakan telah lama akrab, dan tak ingin terpisahkan kembali. Magnit cinta telah membelenggu dua perempuan berbeda generasi ini. 

“Kita mau ke mana, hei, Dik?” tanya Omar, sepupu Fattiyah.

“Tadi malam Abu memerintahkan agar membawa Ummi Maryam  ke rumah keluarga di Raffa."

“Itu sangat berbahaya, terutama untuk dirimu, Fattiyah. Militer dikabarkan telah mengepung penduduk. Mereka sedang mencari ayahmu dan keluarga kita.”

“Belum ada kabar terbaru dari Abimu, Nona?” tanya sang pengawal.

Fattiyah   menggeleng lesu. Ini membuat hati Maryam seketika menciut. 

Bayangkan saja, dirinya begitu bersemangat berkunjung ke Palestina, demi bersua dengan Abu Fattah. Berharap janji yang pernah terikrar tidak sekadar omong kosong dalam pergaulan dunia maya. 

Kenyataannya sosok yang dicari, bahkan keberadaannya pun entah di mana.

"Ummi, kita berdoa saja, serahkan kepada Sang Takdir,” begitu lembut menyejukkan, mengingatkannya kepada putri sulungnya. 

"Ummi boleh menganggapku seperti anak sendiri.” Diraihnya jemari Maryam, kemudian dikecupnya sepenuh sayang. Ada titik bening bergulir dari sudut-sudut mata remaja putri keturunan Yaman ini. 

“Mengapa kini engkau berkeinginan mencarikan ibu bagi putrimu?” tanya Maryam ketika lelaki asing yang belum pernah temu muka langsung itu, tiba-tiba melamarnya sebagai ibu pengganti untuk Fatiyyah. 

Maryam sempat tertawa gelak, menganggapnya sekadar candaan belaka. 

“Selain karena permintaan putriku, kurasa engkau seorang perempuan yang berbeda. Kami membaca setiap postingan di rumah mayamu. Kau tahu, siapapun bisa menangkap kebersahajaan, kesabaran dan ketangguhan sejati penulisnya.”

Seminggu ia menanti bersama Fattiyyah di rumah penduduk di perbatasan Mesir, Raffa. Berbagai berita dan perkembangan situasi perang negeri Syam hanya diketahuinya melalui media sosial.

Dua-tiga kali ia berhasil membujuk Fattiyah untuk mendekati Rumah Sakit Indonesia dan tempat-tempat yang dikabarkan Abu Fattah menggalang kekuatan. 

Namun, mereka tak menemukan sosok yang dicari. Kini bahkan Fattiyah, Omar dan pengawalnya pun telah pergi. Tanpa pamitan, mereka diam-diam meninggalkannya sejak kemarin malam. 

“Aduhai, Abu Fattah hanya sampai di sinikah puncak pengharapan kita?” kesah Maryam, seorang diri duduk tercenung di tenda pengungsian perbatasan Raffa.

Pagi telah berganti siang, siang pun bergerak menuju petang, kemudian menyingkirkan tirai malam dalam puncak risau. 

Seorang pramusaji menghampirinya, menyodorkan tagihan sambil bergumam, penuh kegeraman.

”Mereka semakin brutal dan keji saja membantai orang tak berdosa. Dasar laknatullah zionis!"

Sekilas mata Maryam dilayangkan ke layar televisi. Penyiar sedang mewartakan sebuah insiden mengerikan. 

”Mereka menembaki orang-orang yang sedang sholat subuh di rumah sakit Indonesia...."

Korban berjatuhan, wajah-wajah penuh darah ditayangkan, lelaki, perempuan dan anak-anak. Jantung Maryam berdegup kencang tatkala matanya menangkap dua sosok yang tak asing lagi. 

Wajah lelaki keturunan Hadramaut itu, sosok yang dicarinya, kini berlumuran darah sedang memeluk putrinya yang juga telah tak bernyawa. 

(Perbatasan Mesir, Raffa, 2017)

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama