Pipiet Senja
Anno, 2005
Tepat pukul lima pagi, doooor, door! Persis seperti yang sudah kuperhitungkan dalam hatiku.
Pintu kamar anakku terdengar digedor bapaknya. Jari-jemariku yang semula sibuk memijiti tuts keyboard seketika berhenti. Kupasang daya pendengaran, meskipun sudah hafal bagaimana kalimat yang akan dicetuskan di luar sana.
“Kaaal! Banguuun! Sholat, Kaaal, sholaaat!”
Nah, sungguh persiiis!
Kubayangkan sosok ayah yang sudah bangun sejak setengah jam lalu, sholat subuh dan mengaji, menuju ruang tamu. Sreeek, sreeek!
Tirai gordeng pun dibukakannya. Pintu kamarku masih tertutup rapat dari dalam.
Terdengar pula gedorannya, meskipun tak segencar gedoran di pintu anakku dan tanpa diembeli teriakan.
“Ya…, sudah bangun kok!” sahutku membalas gedorannya.
Bibirku seketika mesem-mesem. Apa dia belum mengenal juga istrinya, kebiasaannya, luar-dalamnya?
Ngawur!
Seharusnya dia tahu kebiasaanku bangun dinihari, jauh lebih cepat dari kebiasaannya mengawali sepotong hari. Ups, tapi memang belum sholat subuh!
Gegas kutinggalkan komputer yang sudah menyita seluruh enerji, perasaan. Sehingga membawaku mengembara ke samudera kata, lautan dialog. Membangun kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, bab demi bab.
Puluhan novel, ratusan cerpen, artikel, cerita bersambung, sejumlah makalah seminar atau workshop kepenulisan pun mengalirlah dari sudut kamar yang tak seberapa luas ini.
Kadang sampai nyaris lalai melakoni sisa pagi dengan sholat subuh, memenjarakanku sedemikian kuatnya. Sehingga sulit bergerak dari kursi di depan komputer. Keleluasan berkreativitas ini pun bisa menjarakkanku dengan anak-anak, kadang-kadang. Bahkan kami telah sepakat untuk memiliki kamar sendiri-sendiri.
Tak mungkin bisa menulis kalau ada orang yang sering mengawasi, memperhatikan atau lalu-lalang di sekitarku. Ini sudah menjadi kebiasaan yang sulit diubah lagi. Telah dicoba sekian kali, tak pernah berhasil.
Kesadaran!
“Aku pun lebih suka punya kamar sendiri,” kilahnya lebih membebaskanku dari perasaan bersalah.
Nah, sekarang sungguh harus kutinggalkan dulu si Canggih!
“Mulai sekarang aku tak mau makan telor!” tolaknya.
Aku telah menggoreng ceplok endog telor mata sapi, untuk lauk sarapannya. Aku tertegun sambil memegangi piring yang tak jadi kuletakkan di atas meja.
“Maunya apa?” tanyaku pasti seperti orang linglung.
“Mie sajalah!” sahutnya sambil kembali ke kamarnya, bruuuk!
Pintunya ditutup kembali.
Itu berarti harus lari-lari dulu ke warung Bude. Maka, kumatikan dulu komputernya daripada nanti kena omelannya lagi.
Lagian Butet pasti akan menyeterika seragamnya. Listrik jadi sangat berharga di pagi buta begini. Dua komputer, dispenser, air sanyo dan setrika. Beberapa harus dimatikan kalau tak ingin jeprat-jepret.
“Mama sih sekarang nggak mau nyetrikain baju Butet lagi,” keluh Butet waktu kulintasi tempatnya nguyek menggosok seragamnya.
“Memang nggak bakalan. Mama semakin padet-padeeet, tauuk! Lagian kalau Mama nyetrikain baju kamu, malah nggak mendidik kamu mandiri.” Haekal yang baru kelar sholat subuh bergabung di ruang tengah dan menjawabkan.
“Dulu waktu SMP, Abang mau nyetrikain baju sendiri?”
“Eeeh, nggak! Abang sih cowok, bodo amat lecek juga,” sahut abangnya sambil buru-buru ngeloyor ke dapur.
“Hhhh, pernyataan Abang itu tendensius, tauuuk!” Butet manyun, mujur masih mau melanjutkan menyetrika.
“Gender, kesetaraan nih yeee!” Haekal teriak dari kejauhan.
“Kewajiban anak-anak kan sekolah. Raih prestasi banyak-banyak demi kebanggaan ortu. Yang kayak beginian mah kerjaan pembokat,” gerutu Butet merepet, meski dia tahu persis tak ada yang menggubris.
Aku pun ngibrit keluar lewat pintu dapur. Malas harus berdebat sepagian begitu. Belakangan mereka kurasakan lebih banyak menuntut haknya masing-masing daripada memikirkan kewajiban.
Asisten!
Ah, iya! Kami sudah lama tak pernah menggunakan jasa seorang khadimat. Begitu banyak masalah yang pernah ditimbulkan karena kehadiran pihak ketiga. Terakhir seorang gadis berdandan seronok, ber-make up menor dan memperlihatkan gelagat ganjil. Terutama terhadap putraku, Haekal.
“Kan nggak enak, Ma. Lagi nggak ada siapa-siapa, dia nyelonong ke kamar. Katanya mau bersih-bersih,” keluh Haekal.
“Oh, ya sudah!” kataku jengkel dan kecewa berat.
Sebab betapa sulitnya mencari seorang khadimat yang baik, santun, tahu tatakrama. Terpaksa gadis ‘ajaib’ itu kuminta berhenti dengan halus.
Kami rembukan, membagi tugas dengan adil. Butet hanya bisa diandalkan ketika liburan.
Hari-hariku pun berlangsung; menulis, mengedit, kontributor naskah ke beberapa penerbit. Menjembatani para penulis pemula dari daerah dengan pihak penerbit, memenuhi undangan ceramah, seminar, talk show keliling daerah. Hingga kemudian tak tahan lagi, ambruk!
“Kenapa sampe ngedrop begini HB-nya, Bu?” tanya seorang dokter muda, ketika aku ambruk di ruang UGD RSCM petang itu.
Semula hanya untuk kontrol, tetapi pas mau pulang kurasai sekujur tubuh lemas lunglai. Serius, tulang-tulang serasa berlepasan.
Dokter di poliklinik akhirnya memutuskan agar aku diangkut ke UGD. Harus segera ditransfusi, tak bisa ditunda-tunda lagi. Meskipun hanya sehari.
“Ibu kan sudah hafal betul kondisi badannya sendiri,” katanya mengingatkan.
Aku terdiam. Tatapan mataku yang menguning, langsung mengapung ke langit-langit.
Pasien di sebelah-menyebelahku terdengar mengerang kesakitan. Ada lima pasien di ruangan ini.
Beberapa tabung oksigen, tiang penyangga infus, salah satunya sudah dipasang di sebelah kiriku.
Beberapa saat sebelumnya telah kuminta bantuan seorang cleaning servis, agar mengambil darah dari PMI.
“Sendirian, ya Bu?” usiknya pula kali ini terdengar lembut, lebih simpati, tidak menghakimi.
Aku menjawab dengan gumaman tak jelas. Pikiranku melayang ke rumah. Tak ada makanan yang terhidang, tetapi di kulkas penuh dengan buah-buahan dan bahan makanan mentah. Siapa yang mau memasaknya?
“Makanya, izinkan aku nikah lagi, ya? Biar ada yang membantumu,” terngiang ucapannya pagi tadi. Ketika aku mengeluhkan terlalu banyak pekerjaan yang harus kutangani.
Belakangan sejak dia siap pergi ke tanah suci, itulah cita-cita yang sering diucapkannya kepadaku. Tanpa malu-malu, tanpa menenggang perasaanku sama sekali.
“Biar kamu tak kaget, jadi kukatakan sejak sekarang.
Sepulang haji nanti aku akan menikah lagi. Kubawa ke rumah ini untuk kerja sama dan membantu kamu!” ujarnya begitu ringan dan tenangnya.
“Membantu apa? Selama ini aku tak pernah dibantu siapapun!” sungutku sambil berlalu dengan gundah-gulana.
Kulihat dengan ekor mataku dia hanya cengengesan, wajahnya yang persegi khas Tapanuli, di mataku diliputi kesenangan dan kemenangan.
“Hhhh! Bahkan aku hampir tak pernah minta bantuanmu. Terutama urusan materi, sejak awal pernikahan aku mandiri!” ceracauku pula merentak, tetapi tentu saja tak terucapkan, hanya menderas di dalam hati.
Hanya karena kurang beres cucian, menyeterika atau memasak. Harus dipoligami?
Lha, kok naif nian alasannya. Rendah dan sungguh melecehkan sesama. Tidak, aku bukan anti poligami. Namun, ini bukan hanya urusan ingin menambah keturunan belaka.
Bukan hanya urusan nafsu syahwat semata. Apalagi urusan bantu-membantu, haaa!
Semuanya akan terlibat, kait-mengait; pandangan yang akan berubah dari anak-anak, keluarga, para tetangga, dan masyarakat sekitarnya.
Lelaki seperti apa yang patut berpoligami? Di mataku, seharusnya lelaki itu sudahlah amat bijak bestarinya.
Selain memiliki kemampuan secara finansial, materi. Dia pun harus memahami betul apa makna dan hakikat tanggung jawab, hak, kewajiban dan keadilan.
Ada yang meleleh deras di dadaku, membanjiri relung-relung hati dan membekukan segala gairah, semangat hidup yang masih kumiliki.
Satu-satunya yang selama ini kupertahankan. Semangat hidup, semangat hidup yang tinggi!
“Ada nomer telepon yang bisa kami hubungi, Bu?” dokter muda lain, gadis muda berjilbab apik, menghampiri.
Ia memberi simbahan simpati dan uluran persahabatan yang memang sangat kubutuhkan saat-saat lemahku begini.
“Nggak ada, maksudku, biarkan saja begini.”
Sebagian dari diriku jelas-jelas memberontak kuat. Sebagian lagi memang tetap tak berdaya, terkulai lunglai dengan tulang-tulang serasa berlepasan.
“Kalau terjadi apa-apa bagaimana?”
“Kan sekarang belum terjadi apa-apa, Dokter,” tukasku pahit.
“Ini umpamanya loh, Bu.”
“Alamat saya, ada di KTP, ada di buku kecil ini, ya Dok, pliiis,” pintaku lebih sebagai harapan pengertian dari mereka, paramedis yang merawatku dengan tulus demi kemanusiaan saat itu.
“Baiklah, kalau itu maunya,” gadis berjilbab yang memimpin para koas petang dan malam itu.
Tampaknya tak mau berdebat lagi dengan pasiennya yang tentu dianggapnya keras kepala.
Dia harus mengerti, pikirku. Lagipula, ini bukan pertama kalinya aku masuk UGD seorang diri. Bahkan ketika berbadan dua, terkucilkan dari keluarga, entah beberapa kali.
Aku harus bersikap demikian.
Sebab terlalu riskan, terlalu menghebohkan, malah hanya akan menyusahkan semuanya saja bila melibatkan keluargaku.
Butet akan menangis dan takkan mau beranjak dari sisiku, berarti dia tak bisa sekolah, ikut nelangsa.
Haekal juga akan meninggalkan kuliahnya, pekerjaannya. Hanya untuk mengurusku?
Tidak, biarlah begini saja, kesahku menelan segala pilu di hati.
Manakala kepiluan itu sudah mencapai ubun-ubun, hingga aku takut menjadi munafik dan menyumpah-serapahi segalanya yang kurasai sebagai beban deritaku. Kliik!
“Ustadah Retno, mohon doanya, doanya, doanya,” erangku melalui es-em-es kepada murobiyahku tersayang.
Ya Robb, betapa begini lemahnya hamba-Mu ini.
Dalam sekejap balasan es-em-es bernada menyemangati, doa-doa dari saudari-saudariku di pengajian pun menyerbu melalui ponselku.
Ustadah Retno memberikan satu-dua ayat penyemangat. Mengingatkan kita tentang kesabaran, ketawakalan dan istiqomah. Mbak Ifat menawarkan bantuan. Mbak Dewi, Mbak Sari, Mbak Dessy semuanya saja.
Mereka sama mendoakanku.
Bahkan Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia tiap beberapa jam menanyai kondisiku. Sesungguhnya mereka menanyai keberadaanku, tetapi aku tidak mengungkapkannya. Yang kuminta hanyalah doa, doa, doa dan doa.
Sepanjang malam itu aku memang merasa ditemani, diberi semangat dari berbagai pelosok dunia.
Satu es-em-es yang kulayangkan kepada satu orang, begitu cepat menyebar. Keajaiban era globalisasi.
“Titaq nangis membayangkan Tetehku sayang terbaring sendirian. Duh, kalau saja mampu, Taq pasti terbang menemani Teteh.” Muttaqwiati, penulis produktif dari Brebes, salah satu daiyah yang sering kujadikan tumpahan curhatku.
“Kami doakan Teteh senantiasa tabah, diberi kekuatan oleh Allah SWT.” Mukhlis Rais, Taufik Munir dan Saiful Bahri dari Kairo.
“Teteh lagi ditransfusi sendirian, ya? Saya hanya bisa melayangkan doa, ya Teteh sayang.” Yudith Fabiola di Singapura.
“Kami percaya, Teteh akan sanggup bangkit, sebab Teteh seorang yang tegar!” Nindya di Negeri Sakura.
“Tabah dan tawakal, ya Teteh sayang.” Yayuk, Novianti dan Sisca dari Bengkulu.
Aku tahu, mata hatiku masih bisa menatap warna pelangi, langit jingga yang meliputi batinku, jiwaku. Menerobos kungkungan ruang serba steril ini. Kekuatan itu, di sana, berhasil kugapai kembali.
Alhamdulillah, terima kasih, ya Robb. Ternyata begitu banyak orang yang memperhatikan, menyayangi dan mendoakan diri yang lemah ini. Aku tak pernah sendiri.
Saat-saat itulah aku punya kesempatan untuk merehatkan tubuh, sementara darah menetes melalui selang transfusi.
Aku berusaha untuk tidak memikirkan apapun lagi selain diriku sendiri. Doa, zikrullah, hanya itu yang bisa membuatku kembali bangkit dan bersemangat.
Memang inilah hak itu. Tubuh ini, badan ini, sungguh punya hak. Semua bisa menuntut haknya, tetapi kita memang harus memilah-milah mana yang harus diprioritaskan, ditunda atau bahkan ditolak.
@@@
Posting Komentar