Rosadi Jamani
Sebanyak 75 negara wajahnya sudah ditempeleng oleh Donald Trump. Bahkan, negara itu sudah mencium “pantat”nya. Kecuali, China. Wajahnya memang sempat ditempeleng. Bolak-balik malah. Tapi, bergeming. Justru malah menempeleng balik, Trump pun KO. Sekarang ia sedang menjilat ludahnya sendiri atas negeri panda.
Ketika perang dagang diluncurkan oleh sang maestro tarif impor, ia berkata lantang di depan mikrofon dan kerumunan, “China akan membayar harga!”
Kenyataannya, tak seindah drama KOVO Korea. Apa yang dibayarkan oleh China? Hanya secuil PR effort untuk menyembunyikan senyum licik saat mereka menikmati mie panas buatan lokal, tak terganggu oleh iPhone dengan tarif 20% yang kini lebih mahal dari harga jujur di kampus Ivy League.
Sementara itu, Trump, si rambut jagung, berlutut dalam diplomasi dan mengeluarkan kebijakan yang lebih fleksibel dari odol di bawah panas matahari. Ia menghapus sementara tarif untuk laptop, semikonduktor, dan smartphone. Alasan? Tentu saja bukan karena cinta damai, melainkan karena rakyatnya mulai bertanya kenapa harga headphone naik seperti harga rumah di San Francisco.
China tersenyum. Negeri kekuasaan Xi Jinping malah tertawa ngakak melihat dalam negeri Paman Sam.
Di Washington, drum perang berbunyi bukan dari luar, tapi dari dalam dinding Capitol. Al Green, sang pendekar Demokrat, mengacungkan pedang pemakzulan yang ketiga, berharap bisa menebas bayangan si rambut jagung yang tak pernah hilang dari kursi kekuasaan.
Namun, ini Amerika, tuan. Di mana logika adalah badut pesta, dan mayoritas Senat lebih setia pada cuitan Twitter dari konstitusi.
Meski telah dua kali dimakzulkan seperti kaset rusak yang diputar ulang, Trump selalu bangkit seperti hantu penasaran di rumah tua Partai Republik.
Rakyat turun ke jalan. Mereka bernyanyi, menjerit, melolong. Bukan karena mabuk kemenangan, tapi mabuk kenyataan. Di 1.400 lokasi, dari Alaska hingga Miami, mereka menggenggam poster bertuliskan, “Jangan sentuh Medicare-ku, tapi tolong sentuh nurani presidenmu!”
Gerakan "50501" adalah puisi kolektif, di mana 50 negara bagian bersenandung dalam nada minor. Sedangkan "Hands Off!" adalah opera tragikomedi, di mana rakyat menyadari bahwa tangan Trump tak hanya memegang pena veto, tapi juga masa depan sosial mereka, dan, dalam beberapa kasus, kantong uang federal.
Trump kini berjalan pelan di lorong kenangan, menatap pantulan dirinya dalam cermin yang retak oleh kebohongan masa lalu. Ia menjilat ludah yang pernah ia tumpahkan, ludah berisi janji perang, ludah berisi retorika nasionalis murahan, ludah yang kini terasa asin karena air mata inflasi dan tarif impor.
Dan China? Ia duduk di atas singgasananya, mengisap teh, sambil berkata pelan, “Biarkan naga tidur. Tapi kalau dibangunkan, dia tidak hanya membakar. Ia membuatmu jatuh cinta, lalu menjadikanmu budaknya."
Perang dagang ini bukanlah perang, melainkan pertunjukan boneka di mana satu pihak membawa bom nuklir, dan yang lain membawa kupon diskon dari Alibaba. Dalam dunia yang sudah gila ini, bisa ngopi adalah satu-satunya kewarasan terakhir.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
Posting Komentar