Garuda Itu Kembali Dengan Patah di Sayapnya : Megawati Pertiwi

Megawati Pertiwi tiba di Bandara Juanda, Sidoarjo, Kamis malam (10/4), setelah menempuh perjalanan 10 jam dari Bandara Incheon, Korea Selatan.

Hijab Style modern itu terlihat agak semrawut, matanya masih menyisakan lelah yang dalam, jetlag dan beban jiwa yang tak terbagi sejak ia meninggalkan Kota Daejeon.

Tanah Korea, tempat ia dihormati bukan sekadar sebagai pemain, tapi sebagai simbol perjuangan, sebagai ksatria dengan sorotan mata yang tajam dan berani. Namun Juanda bukan Incheon.

Tak ada penyambutan resmi, tak ada pelukan hangat dari pihak negari. Hanya suara roda koper yang bergesekan dengan lantai, dan sekumpulan kecil pendukung setia yang meneriakkan namanya dari balik pagar pembatas.

"Mega! Kami bangga padamu!" teriak seorang remaja dengan suara bergetar, memegang spanduk bertuliskan "Garuda Tak Lelah Terbang, Walau Tanah Sendiri Membisu."

Mega menghentikan langkah. la menoleh, mata itu, mata seorang pahlawan yang telah berdiri gagah di liga terbaik Asia sekarang basah.

la tersenyum kecil, getir, lalu melangkah ke arah mereka. Tak lebih dari lima belas orang. Tapi teriakan mereka lebih nyaring dari diamnya negari.

"Kenapa negera tidak datang menyambutmu?" tanya seorang wanita paruh baya dengan nada marah tertahan.

"Kau mengangkat nama Indonesia di negeri orang. Tapi ketika kau pulang, hanya kami, penggemarmu yang berdiri di sini. Negara di mana?"

Mega menggigit bibirnya. la menatap langit Surabaya yang mendung, lalu menunduk.

"Aku bukan siapa-siapa di sini. Aku hanya pemain voli. Dan negeri ini lebih cepat menyambut mereka yang ribut di layar kaca daripada yang berjuang di lapangan." Air mata meleleh di pipi salah satu pendukung. "Mega, kami gaungkan namamu di media sosial.

Kami trendingkan tagarmu selama tiga hari. Tapi negeri ini lebih peduli pada drama politik daripada kerja keras seorang perempuan yang menembus sejarah."

Mega tertawa getir. "Karena aku tak membawa suara pemilu. Aku hanya membawa bola. Dan bola tak bisa memutar roda kekuasaan."

Malam itu, Mega tidak langsung kembali ke Jember. la harus memeriksakan kesehatannya di Surabaya lebih dulu. Cedera bahu kirinya masih terasa, begitu juga lututnya.

Terlebih, batinnya jauh lebih retak ketika pulang rumah sendiri terasa seperti orang asing. Rasa kosong yang tak mampu ditambal plakat penghargaan atau selebrasi media asing.

"Aku pulang, tapi seperti tidak sedang kembali ke rumah," gumamnya lirih.

Surabaya, Jumat pagi.

Mega duduk di ruang tunggu rumah sakit. Bahu kirinya dibalut perban elastis, sama seperti lututnya. Dokter bilang ia perlu istirahat total. Tapi Mega tahu, luka di tubuhnya bisa sembuh, sementara luka di hatinya tidak semudah itu.

Seorang perawat menyalakan TV di ruang tunggu. Di layar, berita politik berseliweran. Skandal dana bansos, dan berita selebriti.

Ada berapa media nasional yang bekerja secara profesional bukan suruhan negara. Bagaimana pun seorang atlet terbaik yang mengharumkan nama Indonesia di Liga voli putri  Korea Selatan, tempat lawan-lawan terkuat Asia berkumpul itu telah kembali tanpa sambutan, tanpa perayaan, tanpa rasa hormat.

Mega menarik napas panjang, lalu berkata pada dirinya sendiri, "Kalau bukan karena cinta pada olahraga ini, aku sudah berhenti sejak dulu."

Oke, kita lanjut Jember, Sabtu sore.

Rumah tua di pinggiran kota Jember itu menyambut Mega dengan hujan deras. Ibunya, memeluk Mega erat. Tapi di balik pelukan itu, ada luka, seorang ibu yang tahu bahwa anaknya dihargai lebih di negeri orang.

"Nak, Syukuri kehadiran beberapa teman yang sambut kamu di bandara," kata ibunya sambil mengusap punggung anaknya.

Mega hanya tersenyum. "Bu, Mega ini lahir menjadi Atlet berprestasi dari rahimnya Negeri tercinta ini.".

Media.onlin

#megawatihangestri

cr:one conten

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama