Mengenal dr. Tifa, Dokter yang Tak Ada Rasa Takut



Rosadi Jamani

Masih suasana Hari Kartini. Ada beberapa wanita sudah saya angkat di antarnya wanita tangguh, Atalia Praratya, Tia Rahmania, Ahelya Abustam.  Miliander dunia, Lucy Guo. Tak ketinggalan wanita kontroversial, Lisa Mariana, Jan Hwa Diana, Marcella Santoso. Terbaru, saya mau angkat seorang wanita yang tak kenal takut, dr Tifa. Sambil seruput kopi di teras rumah, mari kita kenalan dengan wanita yang biasa dibully 24 jam, dikuliti luar dalam, diserang tiada henti, namun dihadapinya dengan senyum. 

Namanya dr. Tifa. Nama lengkapnya Tifauzia Tyassuma. Bukan sekadar dokter. Dia adalah badai ber-Ph.D. yang siap mengguncang kemapanan dengan satu cuitan, satu video, dan kadang satu kalimat yang bisa bikin jantung elit berdebar lebih cepat dari hasil PCR positif palsu.

Ia bukan perempuan biasa yang bangun tidur untuk rebahan lagi. Ia bangun, lalu langsung melempar granat opini di media sosial. Twitter, Instagram, TikTok, apa pun medianya, ia gunakan layaknya arena gladiator. Darah yang ia cari bukan darah lawan, tapi darah malu, malu karena ketahuan bodoh, ketahuan korup, dan ketahuan ngaku-ngaku kuliah di tempat yang bahkan Google Maps pun ragu menunjukkan lokasinya.

dr. Tifa adalah lulusan Fakultas Kedokteran UGM. Ya, UGM, kampus rakyat yang dosennya suka pakai sandal jepit tapi otaknya seperti superkomputer CERN. Tapi Tifa tak puas hanya menjadi dokter biasa. Ia lanjut Ph.D. di bidang Epidemiologi Molekuler di Universitas Indonesia, jurusan yang saking canggihnya, sebagian pejabat mungkin pikir itu nama varian baru COVID. Dengan latar ini, dia lebih dari layak bicara soal kesehatan masyarakat, nutrisi, dan kalau perlu kesehatan demokrasi.

Ia pernah menjadi Direktur Eksekutif Center for Clinical Epidemiology & Evidence RSCM (2009), Sekjen Indonesian Clinical Epidemiology Network (2010), dan kini menjabat Presiden Ahlina Institute. Tapi jabatan-jabatan itu hanya daftar prestasi administratif. Yang lebih penting adalah, dr. Tifa adalah ancaman laten bagi mereka yang takut pada kebenaran.

Dia bukan penulis fiksi, tapi buku-bukunya seperti Body Revolution dan Nutrisi Surgawi dibaca seperti naskah perlawanan. Setiap paragrafnya bisa bikin kamu merasa bersalah karena pernah nyampurin kopi sachet dengan mie instan tiga kali sehari. Tapi yang paling mengguncang bukan itu. Yang bikin panas dingin adalah ketika dia bicara soal politik, lebih tepatnya, soal ijazah Presiden Jokowi dan Wapres Gibran. Konon, katanya, ijazah itu bisa lenyap dan muncul seperti hantu urban legend.

Tentu saja, negara tidak diam. Laporan hukum langsung terbang meluncur ke kepolisian. Beberapa orang mencapnya provokator. Tapi, hei, sejak kapan menyuarakan kejujuran dianggap makar? Kalau bertanya tentang keabsahan ijazah bisa bikin kamu masuk bui, berarti negara ini takut pada Google lebih dari takut pada rakyatnya.

Di media sosial, dr. Tifa bukan selebgram. Dia tidak jual skincare. Dia jual pikiran. Itu lebih mahal dari serum anti-aging. Setiap status yang dia tulis bisa membuat buzzer kerja lembur. Setiap video yang dia unggah bisa membuat staf khusus presiden mendadak buka kitab undang-undang. Dia bukan sekadar kritikus. Dia adalah Rock 'n Roll intelektual di tengah konser lipsync politik.

Beberapa orang menyebutnya barisan sakit hati. Mungkin mereka benar. Tapi kalau hati yang sakit itu karena melihat rakyat dibodohi, hukum dijual kiloan, dan ijazah jadi lelucon nasional, maka semoga lebih banyak yang ikut sakit. Karena dalam negara yang sehat, seharusnya rakyat tidak butuh jadi dokter hanya untuk paham bahwa sesuatu itu busuk.

dr. Tifa adalah Kartini yang bukan hanya membuka jendela, tapi membongkar genteng, melompat keluar, dan menampar patriarki sambil live Instagram. Ia bukan pemberontak tanpa arah. Ia tahu persis apa yang ia kritik, siapa yang ia tantang, dan mengapa ia tidak akan pernah berhenti, meski ancaman datang dari segala penjuru, termasuk dari para penjaga status quo yang lebih takut pada intelektual kritis daripada pada bencana alam.

Jika hari ini kamu merasa dunia ini absurd, ingatlah bahwa masih ada dr. Tifa. Di tengah lautan hoaks dan propaganda murahan, ia seperti mercusuar di tengah kabut, terang, keras, dan tak bisa diabaikan. Kalau kamu tak setuju dengannya? Tak apa. Setidaknya, dia membuatmu berpikir. Di zaman ini, itu sudah cukup revolusioner.

#camanewak

Rosadi Jamani

Ketua Satupena Kalbar

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama