Penulis : Rosadi Jamani
Penyaji: Pipiet Senja
Banyak sudah ditampillan Kartini modern yang menginspirasi. Kali ini saya coba tampilkan seorang kartini lagi, entah menginspirasi atau tidak, silaka dinilai, wak. Sambil menikmati nasi kuning di Rumah Tepi Jalan Wahidin Pontianak, yok kita dalami palung riwayatnya.
Dalam semesta prestasi dan cahaya intelektual, satu nama bersinar terang benderang bak meteor jatuh dari langit, Marcella Santoso. Seorang perempuan berdarah baja, berotak berlian, dan bertabur gelar akademik seperti taburan keju di piza premium. Ia bukan sekadar perempuan berpendidikan, ia adalah institusi berjalan.
Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia, tahun 2006. Tak berhenti di situ, ia lanjutkan dengan Magister Kenotariatan, lalu doktor hukum dari universitas yang sama pada 2022. Ya, 2022, tahun saat banyak orang masih struggling bayar cicilan, dia malah menulis disertasi sambil ganti shade lipstik. Kalau ada Olimpiade akademik, dia udah bawa pulang medali, piala, bahkan wasitnya sekalian.
Sebagai pengacara, ia adalah primadona ruang sidang. Menangani kasus-kasus kakap, dari korupsi ekspor CPO (Crude Palm Oil) hingga perkara superstar mafia hukum seperti Harvey Moeis dan Ferdy Sambo. Ia bukan hanya jadi pengacara, tapi jadi legenda. Di balik toga hitamnya, tersembunyi strategi setajam obsidian, dengan aura yang bisa bikin jaksa mendadak amnesia dan hakim kehilangan arah moral.
Ia adalah partner utama di firma hukum AALF Legal & Tax Consultant. Sebuah posisi yang, bagi sebagian orang, hanya bisa dicapai setelah 7 reinkarnasi dan 40 tahun jadi budak korporat. Tapi bagi Marcella? Cuma tinggal rapihin blazer dan senyum tiga jari.
Namun, di balik kemilaunya, terselip cerita busuk yang bikin tenggorokan rakyat tercekat dan lambung demokrasi mual tujuh hari tujuh malam.
Rp60 Miliar.
Itulah angka yang menjadi pembuka babak kehancuran. Uang yang tidak bisa dibakar lilin ulang tahun, tidak bisa dijadikan sayembara desa, tapi bisa, dan diduga sudah, dipakai menyuap para hakim dalam perkara ekspor CPO.
Enam puluh miliar, wak! Itu bukan nominal yang bisa ditemukan dalam dompet paman kalian yang kerja di koperasi. Itu angka yang bisa membangun puskesmas, mendirikan sekolah, atau membiayai kuliah ribuan anak bangsa. Tapi sayangnya, angka itu justru digunakan untuk membungkam suara keadilan, disamarkan lewat transaksi bisnis yang rumit bak konspirasi film Jason Bourne.
Bukan cuma uang.
Marcella juga diduga memanfaatkan rekaman pembicaraan, pengakuan pihak-pihak terkait, dan jaringan dalam lingkaran pengusaha dan pejabat. Pendek kata, ia bukan sekadar pelaku. Ia adalah arsitek dari panggung kejahatan kerah putih.
Ia tidak masuk ke sistem untuk memperbaikinya, ia merombak sistem agar tunduk di bawah sepatu hak tinggi miliknya.
Lalu gaya hidup?
Oh, jangan ditanya. Ia dan rekannya, Ariyanto Bakri, adalah influencer level langit ketujuh. Mereka tampil di media sosial dengan gaya hidup mewah bak Sultan Brunei sedang liburan di Eropa. Mobil sport, jam tangan berkilau, jet pribadi. Mereka tidak berjalan, mereka melayang di atas kepedihan rakyat yang antre minyak goreng subsidi.
Kalau rakyat bilang “kami butuh keadilan,” mereka jawab, “nanti dulu, kami sedang brunch di rooftop Singapura.”
Di sinilah kita berdiri hari ini, menyaksikan seorang Kartini modern, dengan segala potensi dan kecerdasannya, berubah menjadi simbol kerusakan. Marcella Santoso bukan hanya menyia-nyiakan ilmunya, tapi juga meruntuhkan marwah profesi hukum di hadapan publik. Ia bukan memperjuangkan emansipasi, ia menjualnya kepada penawar tertinggi.
Dari perempuan yang bisa jadi contoh, ia menjelma jadi peringatan keras. Dari puncak gelar doktoral, ia meluncur bebas ke jurang kehinaan moral. Dari sosok inspiratif, ia kini jadi alasan kenapa rakyat sulit percaya pada hukum.
Marcella adalah potret terang-benderang dari sistem yang gelap-gulita. Ia bukan orang jahat biasa, ia terlalu cerdas untuk jadi biasa-biasa saja. Itulah bahayanya.
Sebab kejahatan paling merusak bukan datang dari orang bodoh, tapi dari orang pintar yang tahu cara melumpuhkan sistem demi keuntungan pribadi.
Maka, di tengah peringatan Hari Kartini, izinkan kami menyebut namanya. Bukan untuk dihormati. Tapi agar generasi muda tahu, beginilah jadinya bila kecerdasan tak punya nurani.
Selamat Hari Kartini. Selamat datang di babak baru, kartini yang tak layak dicontoh.
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
Posting Komentar