Pipiet Senja
Anno, 1991
Setiap Ramadhan menjelang Lebaran, aku akan terkenang masa itu.
Bertiga dengan anak; sulungku 10 tahun dan
adiknya Balita.
Saat itu sehari sebelum Lebaran. Uang di tanganku sisa keperluan sehari-hari hanya lima ribu. Aku sudah nekad, Lebaran kali ini harus pulkam. Berkumpul dengan keluarga di Cimahi.
Tiga tahun sudah kami tak bisa Lebaran dengan keluargaku. Dilarang bapaknya anak anak dengan alasan: wajib Lebaran bersama keluarga besar Siregar.
Terpaksa manut, selain demi kepatuhan sebagai istri terutama lebih disebabkan; tak sanggup jika harus bawa seorang anak kecil dan bayi merah.
"Sekarang Abang sudah besar. Nanti bisa bantu Mama gantian gendong Butet, ya Bang," pintaku kepada sulungku yang baru naik kelas 6 SD.
"Siaaaaap, Komandan!" sahutnya sambil tertawa penuh semangat.
"Terima kasih, Jenderal," kuelus kepalanya dan mencium keningnya. Dia bercita-cita jadi tentara seperti kakeknya, prajurit Siliwangi.
Jam terus bergerak, tahu-tahu sudah pukul 11.00. Telah dua jam kami menanti bis jurusan Bandung di Simpangan, Depok. Kulihat Butet lelap tertidur di gendonganku.
Orang-orang kian ramai dengan tujuan yang sama; pulang kampung.
"Mama, lihat ada mobil tentara kosong!" Seru anakku menuding ke arah kendaraan hijau tentara.
"Apa mau ditumpangin kita ya, Bang?"
Seperti tak mendengar keraguan emaknya, sulungku sudah menyetop mobil tentara itu.
"Boleh numpang, ya Bapak Tentaraaaa?" serunya sambil heboh melambai-lambaikan
tangan.
Mobil berhenti tepat di depan kami. Mereka menurunkan dua orang prajurit di situ.
"Memangnya mau ke mana, Dek?" tanya seorang prajurit berpangkat Sersan.
"Kami mau ke Cimahi, Pak.
Opa saya tentara Siliwangi, loh. Pangkatnya Mayor.... NRP-nya 157177!" papar sulungku tegas dan lugas.
"Oya, keluarga tentara. Ayo, ayo silakan naik, Dek," ajaknya dengan ramah dan sopan sekali.
"Terima kasih, Pak, terima kasih," ujarku lega.
"Tapi kami hanya sampai Sukabumi. Nanti kami carikan kendaraan lain menuju Cimahi, ya Dek."
Alhamdulillah, perjalanan menuju Sukabumi terbilang lancar. Pak Sersan asyik ngobrol dengan sulungku.
Sementara aku lebih banyak membilang tasbih sambil memangku Butet. Sama sekali tidak rewel, ia lebih banyak tidur.
Ceritanya tibalah kami di Sukabumi. Diturunkan di Masjid dekat Terminal. Benar saja sebuah mobil tentara rekannya sudah menanti.
"Ini keluarga Mayor Arief, tolong antarkan sampai rumahnya di Cimahi," perintah Pak Sersan kepada sopir.
"Siap, Komandan!"
"Maaf, boleh kami sholat dulu, ya Komandan?" Haekal seketika mengacungkan tangannya.
Gayanya yang mirip tentara karuan membuat para prajurit terpikat.
"Iya, boleh, silakan sholat Zuhur dan Ashar," sahut Pak Sersan, menepuk bahu Haekal.
Kami pun sholat dengan tumaninah. Tampak Haekal berdoa khusuk sekali. Penasaran aku berbisik;"Abang mendoakan apa?"
"Abang kepingin jadi orang kaya. Biar Mama gak susah payah kalau pulkam. Abang mau sediakan Mama mobil kereeeeen...."
Kulihat ada butiran bening menggantung di sudut-sudut matanya. Suaranya pun terdengar parau di kupingku. Tak tahan kupeluk buah hatiku, kupeluk erat-erat.
Aku menangis dalam hati. Kutahan sekuat daya jangan sampai menitik airmata. Begitulah caraku mengaminkan doa anakku.
Di bagian belakang kini berisi beberapa orang seragam tentara. Kami dipersilakan duduk di samping Pak Sopir.
"Mama, ini dikasih Komandan sebelum pisah tadi," bisik anakku setelah mobil meninggalkan Masjid.
"Apa isinya?"
"Uang 20 ribu, Ma, alhamdulillah.... Baik banget Komandan itu, ya Ma!"
Uang segitu sangat banyak masa itu. Honor cerpenku 30 ribu rupiah.
Kembali kutahankan sedemikian rupa. Agar airmata tak tumpah.
Sementara jalanan sudah macet di mana-mana. Masa itu belum ada Tol Cipularang.
Saat berbuka puasa, sopir menghentikan mobilnya di kawasan Cipatat. Kami makan minum ditraktir pula oleh seorang prajurit.
Kulihat wajah Haekal sumringah, banyak ditanyai oleh para prajurit.
"Bapaknya di mana, Dek?"
"Mau jawaban fiktif atau realistis?"
Oya, kelas 4 SD Haekal sudah sering nulis puisi, cerita mini dan dimuat di majalah Bobo.
Hobinya membaca buku, semua koleksi bukuku sudah dilahapnya.
"Jawaban fiktifnya apa?"
"Oh, kalau itu menurut pikiran saya waktu kecil. Dia ati abak ebek...."
"Mati ditabrak bebek, ya?"
"Hmmmm...."
"Hahahahaha...." Riuh tertawa.
"Jawaban realistisnya apa, Dek?"
"Dia egois dan pelit. Tahu gak ini kami mudiknya diam-diam!"
Singkat cerita sampai juga kami dengan selamat di rumah keluargaku di Tagog, Cimahi. Tepat pukul sepuluh malam!
Emak memelukku dengan buncah air matanya. Adik-adik heboh menyambut Haekal dan Butet. Malam takbir itu bagiku bagai semesta sukacita dan airmata.
Note: Kutulis ini sebagai pengingat, semacam muhasabah diri. Betapa harus bersyukur kami, emak dan anak cucu. Begitu banyak ujian mewarnai jejak langkah. Namun, betapa berlimpah pula anugerah-Nya.
Al Fatihah
Posting Komentar